COME

8.6K 568 5
                                    


Paman Tom,

Pria itu menurunkan kakinya dari ranjang. Bangkit dari sana dan menghampiri pintu. Tangannya memutar angsel pintu cukup pelan sebelum akhirnya melangkah keluar meninggalkan kamarnya. Pergi ke arah depan melewati selasar di mana terdapat dua buah jendela persegi berjarak sekitar empat meter di sisi kirinya.

Saat itu, fajar telah menyingsing, terlihat cukup indah, langit pagi yang seakan mengintip dari balik gorden jendelanya juga tampak cantik disertai udara menyegarkan. Dari arah barat, deru suara ombak terdengar sayup-sayup, desiran lembutnya berputar seperti alunan musik alam di tengah pikirannya yang sedikit mengalami, ketidaktenangan.

Ia, baru saja bermimpi hal yang tak mengenakan. Yang membuatnya terbangun lebih pagi dari biasanya. Dari hari-hari biasa ketika ia tengah menikmati liburannya. Bermimpi buruk? Benar, mungkin bisa dibilang begitu.

Dari alam bawah sadar yang seakan menjadi tokoh utama keresahanya tersebut, Ia tak mengerti kenapa semuanya begitu mengganggu. Seisi tempurung kepalanya seperti menanggung beban berat dan mengganjal di sana-sini.

Ia tak dapat memungkiri apapun lagi seperti sebelum-sebelumnya. Seperti hari-hari kemarin. Semua ini jelas mengenai Sean, keponakannya, bocah yang sepuluh tahun terakhir telah menjadi tanggung jawabnya, yang ia anggap sebagai putranya sendiri itu. Anak lelaki pemurung yang ia ingat pernah tak sengaja memanggilnya, AYAH, sewaktu Alexa memperkenalkan kata tersebut belasan tahun silam.

Paman Tom, duduk dan bersandar di atas sebuah kursi mahagoni yang diletakkan di teras bangunan itu. Matanya menatap laut dan pantai yang berada tak jauh dari sana. Hatinya sesekali merasa jauh lebih buruk dari setiap nasib butiran pasir yang diterjang ombak. Mimpi buruk, ah! Ia masih terbayang-bayang jelas bagaimana kejadiannya.

Sean, baru saja memanggil-manggil namanya dalam kegelapan. Dalam alam bawah sadarnya ketika ia terlelap semalam. Pemuda itu memanggilnya beberapa kali, terus menyebut namanya hingga membuat ia, merinding!

Sean yang semasa kecilnya takut sekali dengan air itu melanturkan beberapa kalimat yang bahkan segera membangkitkan bulu kudunya dan membuat ia cepat-cepat terbangun dengan dada begitu sesak.

Paman Tom jelas sekali mendengar, Suara serak nan basah yang diselimuti kesedihan itu, mendobrak alam mimpinya. Meminta penjelasan atas perbuatan keji dari rekan kerjanya yang terjadi bertubi-tubi jauh di luar sana. Menuntut, Sean seakan tak terima dengan apa yang telah mereka lakukan. Ia marah. Terlihat sangat marah, namun kesedihan lebih memonopoli rautan wajah elok yang entah bagaimana bisa terbalur luka di sana-sini.

'Paman, kau dan orang itu, apa kalian bekerja sama? Kenapa kau lakukan ini padaku? Bukankah kita keluarga?!'

Paman Tom mendengarnya berulang-ulang. Serentetan kalimat yang membanjiri ruang kepalanya. Wujud Sean tak sempurna ketika mengatakan itu. Ketika mereka bertemu di dalam air? Sungai? Laut? entahlah. Mereka seakan berbicara di dalam gelombang dingin nan gelap. Ia tak tahu jelas di mana mereka berada. Di mana Sean tiba-tiba muncul dan berenang menghampirinya perlahan-lahan. Tubuh lelaki muda itu juga tak seperti apa yang ia bayangkan selama ini. Sebagai merman yang indah, yang memiliki ekor cantik dan mengkilau, wujud yang ia harapkan, sama sekali tidak seperti itu.

Pria tengah baya tersebut agak terkejut dengan sosok yang justru mengenaskan di hadapan mata tuanya. Ia tak bisa mengungkapkannya. Mengerikan! Sean yang separuh tubuhnya ke bawah berupa ekor ikan, tak lagi cantik seperti gambarannya.

Tubuh tegap berkulit kemerahan tersebut di selimuti darah di mana-mana, yang melayang di sekitaran mereka. Wajah Sean penuh dengan luka dan bilur-bilur, bibir bawahnya robek, sementara pelipisnya memar berat. Mata sayunya memandang sedih seakan kehilangan kehidupan dari dalam sana. Menatap, ia menatap paman Tom lekat-lekat.

THEIR MERMAN [COMPLETE]Where stories live. Discover now