DESIRE

4.1K 369 10
                                    


Alexa berhenti mengusap punggung tangan Sean. Udara di luar Bar terasa makin panas ketika ia berhasil menguraikan kejadian demi kejadian yang berlangsung hampir dua puluh tahun tersebut.

"Begitulah William, ayahmu akhirnya meninggalkan kita. Mereka menculiknya. Nathalie menceritakan semuanya setelah sembilan tahun berlalu ketika aku tak sengaja mengetahui ulah busuk mereka, mengetahui alasan kenapa William menghilang. Ia menceritakan hal-hal buruk yang mereka lakukan pada ayahmu, mengakuinya, sebelum akhirnya mencoba untuk membunuhku di atas kapal itu." Wanita itu tertunduk, matanya berkaca-kaca. Tak bisa menahan diri agar tetap tegar setelah mengingat semua perbuatan jahat yang menghancurkan keluarganya tersebut, menghancurkan, orang yang seharusnya bersama-sama dengan dia. William.

Sementara Sean hanya memandangi roti isi yang kini telah berkurang sedikit di depannya. Ia berjanji akan menghabiskan makanan itu jika Alexa mau bercerita. Namun sepertinya, sulit untuk menepati janji itu. Sesuatu seperti meledak dalam hatinya setelah mendengar banyak dari sang ibu. Ia tak tahan, ia ingin sekali marah, atau apapun untuk meluapkan seluruh emosi.

Orang-orang itu, James?! Nathalie?! Bedeb*h!!

Sean mengepalkan tangannya kuat-kuat. Pikirannya kembali ke saat ia berada di Laboratorium, saat ia melihat wajah kedua orang itu. James Brenner dan Nathalie Miller. Ia teringat jelas detail dua bajing*n tersebut. Suara mereka, gaya bicara mereka, penampilan mereka, atau bahkan cara berpikir mereka yang tak manusiawi. Sean terbayang jelas dua orang itu, dan juga, William? Pemuda yang berada di dalam tabung kaca raksasa itu, ayahnya. Ia terbayang bagaimana kondisi William. Menyedihkan.

"Aku akan segera menghentikan mereka. Aku berjanji akan secepatnya mengakhiri-ini." Ujarnya tegas. Ia menatap ibunya baik-baik, meyakinkan wanita itu.

Tangannya hampir merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel milik Kyle yang ia bawa. Berniat menunjukkan rekaman suara dari James Brenner yang berhasil ia jebak sebelum tiba-tiba ponsel milik Alexa yang tergeletak di atas meja mendadak bergetar lebih dulu. Panggilan masuk dari seseorang.

"Ah, maafkan aku Sean," Alexa menyabet benda tipis tersebut, beranjak dari kursinya saat Sean mengangguk kecil mempersilahkannya menyingkir sebentar untuk berbicara dengan seseorang di ponsel tersebut.

Wanita itu berjalan keluar ke teras depan bangunan itu. Sean bisa memandanginya dari tempat ia duduk melalui kaca jendela tak jauh dari tempatnya. Sinar matahari menyinari tubuh kurus ibunya, seakan berusaha membuat kulit pucat Alexa terlihat sedikit lebih segar.

Sean mengangkat tangannya kembali ke atas permukaan meja ketika ia mengalihkan pandang dari sana. Roti isi di depannya membuat isi perutnya terasa kenyang. Ia benar-benar tak ingin menyantap sajian itu saat ini, ia tak berselera dan segera menggeser piring tersebut sedikit lebih jauh dari hadapannya ketika tiba-tiba, sesuatu terjadi.

Kepalanya terasa pusing. Sementara matanya juga berkunang-kunang, jantungnya berdegup lebih cepat dan organ dalam lainnya, paru-parunya terasa tak berfungsi dengan baik. Sean tak tahu apa yang tengah terjadi. Ia merasa begitu, kering? Semua organ dalam tubuhnya seperti bekerja lebih keras karena ia kekeringan.

Beberapa waktu saat ia mencoba mengatur pernafasannya, pemuda itu merasakan hal lain lagi. Tangannya mengalami hal aneh. Tangan kirinya. Kulit di punggung tangan kirinya menjadi pecah-pecah. Guratan-guratan halus menghias di sana-sini. Di beberapa bagian kecil kulit itu bahkan memutih seperti selaput tipis yang seakan ingin mengelupas.

Sean menjadi sedikit panik. Ia tak pernah mengalami hal semacam ini sebelumnya. Tenggorokannya yang terasa semakin kering dan kering, membuatnya cepat-cepat menyabet dan meneguk soda di hadapannya, namun itu justru memperburuk keadaan. Ia tidak butuh minum. Tenggorokannya terasa kering tapi ia tak butuh minum. Ia menyadari kalau ia menginginkan hal yang lain. Sesuatu yang sekarang tiba-tiba terbayang jelas di kepalanya.

'Laut!'

Sedikit kabur, ia melihat beberapa mahkluk setengah ikan setengah manusia berenang di sana. Di tengah gelombang biru yang terlihat, menyegarkan itu. Meree. Sean melihat dalam pikirannya Meree dan teman-temannya bermain-main di tengah lembutnya lautan. Sirip-sirip mereka menembus dan membelah gelombang dingin itu, sementara sisik-sisik di bagian bawah tubuh mereka mengkilap di bawah cahaya matahari yang menembus permukaan laut.

Sean ingin bergabung dengan mereka. Ia tahu ini gila, tapi itulah yang ia alami sekarang. Ia menginginkan laut, ia ingin merasakan gelombang itu menyentuh kulitnya, ia ingin sirip-siripnya juga dapat mengibas di tengah gelombang biru itu.

Ia melihat Meree dan kawanannya tersenyum padanya. Seperti mengucapkan selamat datang. Mahkluk-mahkluk bertaring itu tak terlihat mengerikan seperti sebelumnya. Wajah mereka memang seperti, monster. Namun Sean tak lagi merasa aneh dan justru menganggapnya wajar. Menganggap tak ada hal yang perlu ditakutkan atau, dikhawatirkan. Naluri di dalam tubuhnya seakan dihidupkan. Sean merasa sama dengan mereka. Ia merasakan keterikatan kuat di antara mereka. Bahkan lebih kuat ketimbang dengan Alexa, ibunya. Ia merasakan hubungan yang mendalam dengan semua mahkluk air tersebut. Hampir seperti keluarga?!

Gila! Benar-benar gila!

Ia mencoba menghapus bayangan-bayangan mengesankan tentang lautan dan mahkluk-mahkluk bersisik itu. Ia mencoba menyingkirkan semuanya. Namun tak disangka ini terasa berat. Ia tak tahan. Ia merasa bukan dirinya lagi. Semakin buruk manakala tak sengaja memandang tangan kirinya yang tambah lama tambah memburuk. Guratan itu terlihat makin jelas, sementara otot dan tulang-tulang jarinya seolah membeku. Ia mulai kesulitan menggerakkan jemari-jemarinya. Ia mengalami sesuatu yang cukup serius.

Dari arah pintu, Alexa masuk dan berjalan menghampiri meja mereka lagi. Ia telah selesai menerima panggilan tersebut. Tangannya menarik kursi dan duduk di sana lagi seperti sebelumnya sementara Sean langsung menurunkan tangan kirinya itu, menyembunyikannya ke balik meja.

"Ada apa denganmu Sean? Kau, tidak kelihatan baik." Tanya Alexa ketika tak sengaja menangkap wajah pucat Sean. Ia dapat melihat permukaan bibir Sean tampak kering dan pecah-pecah. Berbeda dari beberapa saat lalu.

"Aku tidak apa-apa." Jawab Sean.

"Katakan saja jika kau tak enak badan atau semacamnya. Aku akan..-"

"Aku baik-baik saja bu." Sela Sean.

Mereka saling menatap. Sean tak ingin membahas ini terus menerus. Ia tahu terjadi sesuatu yang buruk padanya. Tapi saat ini bukanlah saat yang tepat untuk menceritakan semua itu. Mereka baru saja bertemu, ia tak ingin membuat wanita itu khawatir. Dan ia hanya ingin membicarakan semua hal tentang Jemes Brenner, Nathalie Miller, dan juga William. Ia ingin segera mengetahui dan mengakhiri ini. Bukan berkeluh kesah tentang apa yang terjadi dengannya di lautan itu. Menjadi duyung? Itu konyol.

"Aku hanya kelelahan. Dan akan baik-baik saja setelah istirahat. Jangan khawatir." Sambungnya.

"O-ke... Oke aku harap kau baik-baik saja. Aku akan membawamu ke suatu tempat agar kau bisa istirahat sepanjang hari di sana." Alexa menyabet tasnya dan bersiap meninggalkan tempat itu. Wajahnya tampak ceria seketika. "Dan kuharap rasa lelahmu juga akan hilang setelah kita menemui seseorang."

"Menemui seseorang?" Sean memperhatikan gerak-gerik wanita itu. Alexa, ibunya menjadi berbeda setelah ia menerima panggilan tersebut.

"Kita baru saja membicarakannya. Aku tak percaya ini semua tak sia-sia."

"Apa maksud ibu?"

"Anak buahku berhasil menerobos dan menghancurkan laboratorium itu. Mereka, berhasil menyelamatkannya."

"Anak buah?!"

"Ah, aku lupa aku belum mengatakan apapun mengenai penyerangan yang kulakukan." Alexa tertunduk beberapa saat sebelum mendongak dan menatap Sean lagi. "Ibu akan menceritakannya di perjalanan sayang. Sekarang persiapkan saja dirimu untuk ikut denganku. Kita akan pergi menemui ayahmu, WILLIAM LIE."








THEIR MERMAN [COMPLETE]Where stories live. Discover now