Part 14

268 39 0
                                    

Hening mengisi atmosfer ketiga orang tersebut meskipun di sekitar mereka sangatlah berisik dengan anak-anak yang menjerit dan tertawa. Haera melirik tangannya yang terkepal, kaki yang berayun dari bangku yang ia duduki bersama kakaknya, menghitung sampai 3 sebelum jari-jari mungilnya tidak terkepal lagi.

"Taeyong?"

Ia memanggil nama itu untuk kedua, ketiga kalinya, tapi ia tidak mendapatkan jawaban. Apakah suaranya kurang keras?

Tapi kalau ia berani berteriak, Taeyong pasti akan marah, 'kan? Lagi pula, anak-anak yang berisik dan mengganggu akan ditampar sebagai akibatnya.

Apakah peraturan itu juga berlaku di tempat yang menyenangkan ini?

Ia akan mencobanya.

"Taeyong!"

Akhirnya ia mendapatkan yang ia mau ketika sang pelempar pisau menoleh ke arah mereka, tatapannya seolah bertanya. Kata-kata tidak perlu diucapkan olehnya untuk memberitahu bahwa ia merasa terganggu.

Meski ia diperlakukan dengan dingin, Haera tidak gentar. "Terima kasih sudah membelaku!" Rasa terima kasih ditunjukkan dirinya bukan hanya lewat kata-kata, tapi juga lewat wajahnya. Mata yang besar dan cokelat menatapnya dengan berbinar-binar dan tidak ada jejak kesedihan tadi pagi di sana.

Taeyong menyelipkan satu tangan ke dalam saku dan dengan cuek menggaruk ujung poster yang ditempel di dinding yang menjadi tempatnya bersandar. "Kapan aku membelamu? Aku tidak ingat." Itu sangat seperti dirinya untuk menolak mengakui tindakannya yang baik hati. Baik hati, tiap kali ia melakukannya dengan sengaja atau tidak disengaja, membuatnya merasa kesal. Bukan gayanya.

Gadis itu mengangkat bahunya dan memainkan ujung rambutnya yang pendek. "Kami berdua tidak pernah bermain di luar rumah seperti sekarang, dan karena kami tidak punya banyak teman, kami tidak pernah mengalami kejadian seperti tadi. Itu pertama kalinya orang dewasa bicara seperti itu padaku..."

"Dan itu akan menjadi yang terakhir kalinya."

Apa artinya itu? Taeyong merobek poster itu, meremasnya sebelum membuangnya di tempat sampah terdekat. Kalau kamera menangkap perbuatannya itu, ia akan selalu bisa membayar dendanya.

"Seberapa yakin kau itu akan menjadi yang terakhir?" Haera bertukar pandangan dengan Haechan sebelum melihat Taeyong lagi. "Aku bisa saja ceroboh nanti, besok, dan hari-hari selanjutnya!"

"Maka itu tidak bisa dibela lagi. Kau tidak boleh mencari perkara tiap detik tiap harinya."

"Terkadang aku tidak bisa mencegahnya!" Gadis itu cemberut.

Merasa bahwa ia tidak boleh membiarkan percakapan ini berlalu begitu saja tanpa meyakinkan anak itu, Taeyong menyenggol gadis itu dengan ujung sepatu botnya. "Hei, kau lihat tadi petugas keamanan itu langsung mundur begitu ia bertatapan denganku? Kau," ia mengedikkan kepalanya ke arah Haechan, "kau juga melihatnya. Menurutmu kenapa itu bisa terjadi?"

"Karena kau menakutkan." Haechan terpana, terus-terang, yang membuat Taeyong tersenyum akan keberaniannya. Ia mulai berani seperti saat pertama kali mereka bertemu.

"Memang benar. Aku akan terkejut kalau ada yang tidak takut padaku. Apa kau tahu rasa puas yang kau dapatkan saat kau tahu orang-orang takut padamu? Itu adalah bentuk kekuasaan yang paling sederhana." Ia mendecakkan lidahnya. "Kematian menanti siapa pun yang berani menjatuhkanku."

"Kau pasti bercanda! Membunuh itu tidak baik!"

Taeyong akhirnya meninggalkan posisinya untuk berjongkok di hadapan kedua anak kembar itu, menepuk dahi Haera. "Kenapa kau langsung menyimpulkan kata-kataku tadi menjadi pembunuhan tingkat satu (pembunuhan disengaja dan terencana)? Nak, baik dan buruk itu... tidak ada dalam kamusku. Di dunia ini yang terpenting adalah bertahan hidup. Moral adalah paham yang dibentuk oleh masyarakat. Hanya karena kau terlahir dan mengenal norma baik itu seperti menawarkan kursimu untuk orang lanjut usia, tidak lantas tindakan itu berarti sebuah kebaikan. Kau melakukannya hanya karena sudah menjadi suatu kebiasaan di masyarakat. Bagaimana kalau kita membalikkan situasi dunia ini, hm?"

[5] What Lies Ahead: Unmasked (JaeYong)Where stories live. Discover now