Part 16

279 46 0
                                    

Suara gedebuk bergema di dalam ruang latihan yang temaram itu. Terjadi berulang kali, belum juga berhenti sejak 1 jam lalu. Taeyong berdiri semenit setelah anak panah terakhir ia lempar ke papan target, mencabut anak-anak panah itu satu per satu sebelum kembali ke posisi sebelumnya di lantai, punggung bersandar di tembok.

Sebuah bohlam yang berpijar di sudut ruangan adalah satu-satunya cahaya di dalam ruangan itu, terangnya hanya mencapai setengah dari wajah sang pelempar pisau. Kalau seseorang melihatnya dari dekat, kau bisa melihat kilatan sinar yang redup di mata pria ini.

"Glooooooooria, in excelsis Deo!"

Untuk menghapus kesunyian yang mulai merambatinya, Taeyong melawannya dengan menyanyikan lagu Natal dalam gayanya sendiri, lagu yang mengingatkannya akan masa kecilnya — bagaimana salju turun dan menyelimuti jalanan, rumah-rumah, dan jatuh di ujung hidungnya yang memerah. Yang paling berkesan adalah, dulu ia membuat bola salju dan melemparnya ke wajah adiknya.

Baginya, Natal hanyalah hari yang dingin yang diiringi cahaya kuning berkelap-kelip seperti pantat kunang-kunang saja. Ia ingat, dari dalam kamarnya ia menyaksikan bagaimana anak-anak tetangganya bermain di luar sana dan menikmati hari libur itu, sedangkan ia dikurung di dalam rumah karena ia hanya akan berbuat ulah. Léonie tidak salah. Tapi ia juga berhak bermain.

Natal waktu itu terasa membosankan. Dan memang selalu begitu. Malam ini, nyanyiannya membuat hari libur itu datang lebih cepat.

Rasanya dingin ketika angin bertiup lewat jendela yang terbuka. Suaranya bertambah keras, nyaris meneriakkan liriknya sebelum sebuah ketukan mengganggunya, dan ia menyeret tubuhnya untuk menempelkan telinganya di pintu.

"Ini belum Natal."

Taeyong menarik dirinya untuk memandangi pintu itu. Kata-kata itu terdengar kurang jelas karena datangnya dari luar, jadi ia menempelkan sisi wajahnya di pintu, berharap bisa mendengarkan ucapan itu dengan benar.

Segera setelah ia mengerti maksudnya, ia mendengus dan dengan sengaja menyanyikan lagu Natal lainnya sembari melemparkan anak panah ke papan di seberangnya.

"Silent night (Sunyi senyap)," ironisnya itu sama sekali tidak sunyi, "Holy night! (Malam Kudus!)" Ia berhenti setelah satu bait dan mengumpulkan anak-anak panah itu lagi sebelum menjatuhkan dirinya di lantai yang beralaskan matras. "Sepi sekali di sini. Seharusnya kau memberiku TV kecil waktu aku pingsan tadi." Taeyong melirik ke pakaian yang ditumpuk rapi di sofa dan ia tertawa untuk didengar olehnya sendiri. "Setidaknya kau memberiku pakaian ganti."

Suara langkah kaki terdengar di sana-sini sebelum berhenti. Cahaya dari luar menyelip dari celah kecil di bawah pintu. Taeyong lalu tengkurap untuk mengintip di sana dan hanya melihat satu kaki.

"Apa yang kau lakukan?"

Ia mendengar suara gemerisik kertas.

Jaehyun membetulkan letak kacamatanya dan membaca sebuah laporan. "Aku meninjau ulang dokumen. Aku bosan bekerja di ruang tamu."

"Ah, oke." Taeyong mengangguk meski ia tahu suaminya tidak bisa melihatnya, lalu ia kembali duduk untuk menghitung anak panah yang dipegangnya. Itu salah satu hal yang bisa ia lakukan untuk menghibur dirinya. Ia sedang tidak ingin melempar pisau atau menggunakan busur panah, ia hanya punya satu permainan yang bisa dilakukan di dalam penjara sementaranya itu.

"Aku sungguh minta maaf untuk hal ini." Jaehyun mendesah sebelum meletakkan kertas-kertasnya, melihat ke arah pintu seakan-akan apabila ia berusaha keras, ia bisa melihat ekspresi datar di wajah Taeyong. Ia punya pikiran yang kreatif jadi ia membayangkannya, membayangkan yang lebih tua meniup poninya agar menjauhi matanya.

[5] What Lies Ahead: Unmasked (JaeYong)Where stories live. Discover now