Part 15

258 44 0
                                    

2 jam sudah berlalu. Petugas keamanan berkumpul di sekeliling taman untuk melakukan investigasi, menginterogasi pengunjung yang bisa memberi mereka petunjuk. Tapi apa yang mereka dapatkan hanyalah kumpulan dari 'aku tidak tahu' dan kematian 5 orang serta 3 orang dalam kondisi kritis di rumah sakit terdekat. Semuanya dievakuasi ke luar sembari taman sementara ditutup untuk pemeriksaan. Menurut mereka, kejadian ini mungkin saja ulah orang dalam jika senjata bisa diselundupkan dengan mudahnya ke dalam taman bermain.

Jaehyun berlari di koridor, dua tangan menggandeng anak kembar yang gemetaran itu. Ia lelah dan jelas terlihat dari kegelapan yang merundung sosoknya. Dengan satu gesekan kartu kunci, pintu terbuka dan mereka memasukinya. Jaehyun melihat kamar itu kosong sebelum ia melihat pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. Dengan amarah yang mengisi jiwanya, ia mendudukkan anak-anak itu di ranjang dan berpesan bahwa apa pun yang terjadi, mereka harus menutup telinga dan menutup mata.

Lalu ia menghilang di balik kamar mandi, mengunci pintunya. Ketika lampu dinyalakan, matanya yang marah mendarat di Lee Taeyong yang terlihat sangat berantakan dengan rambutnya yang terurai dan kemejanya yang tidak terkancing, sedang meremas pinggiran wastafel sambil menatap pantulan dirinya di cermin yang pecah dan berlumuran darah.

Buku-buku jarinya sama merahnya.

"Apa-apaan kau ini?"

Taeyong tidak bergerak.

"Apa kau tidak mau menjelaskannya?" Jaehyun masih melanjutkan dengan lembut, namun suaranya parau akan amarah yang mendidih. "Kita nyaris kehilangan mereka. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi?"

Mata biru perlahan mengikuti pantulan diri Jaehyun.

"Seburuk apa?"

"Kau...!" Penembak jitu itu menjulurkan tangannya ke arah yang lebih tua, yang dengan lincah menepis tangannya, menodainya dengan darah.

Menyeka buku jarinya yang berdarah di kemejanya, Taeyong mendesis. "Mereka bukan tanggung jawabku jadi berhentilah berharap aku akan mengasuh anak yatim-piatu yang kau pungut di jalan itu."

Jaehyun meringis, melihat merah, dan ia menyerang suaminya untuk meninju pipinya, membuat yang lebih tua terhuyung sebelum menabrak dinding. Ia memukulnya begitu keras hingga ia bisa merasakan sendinya sendiri perih sebelum ia membuka kepalan tangannya.

"Aku memaklumimu selama ini karena kau memang tidak akan berubah! Aku menerima semua itu, Ethan! Tapi bisakah kau tidak menunjukkan sifat apatismu yang gila itu pada mereka?!"

Taeyong merosot di lantai, napasnya pendek seraya lidahnya berjalan di sepanjang luka di dalam pipinya. Darah selalu terasa seperti surga baginya, terlebih jika darah itu adalah miliknya. "Oh, jadi mereka lebih penting sekarang? Aku berkorban begitu banyak untukmu. Apakah semudah itu bagimu untuk membuangku sekarang, Sayangku?"

"Aku tidak... itu tidak bisa dibandingkan. Kenapa aku memilih—"

"Aku bukan orang sepertimu," kepala Taeyong terjatuh ke samping sambil melirik cermin yang hancur itu dan perlahan mendorong tubuhnya untuk kembali ke wastafel, mencuci tangannya seolah tidak terjadi apa-apa, wajahnya tenang namun murung. "Aku harus memilih, Jaehyun. Dan aku memilih untuk mencari adikku." Di tengah-tengah ucapannya, Jaehyun mulai berjalan mondar-mandir. "Dia di sana; aku melihatnya."

"Oh, persetan! Aku tahu aku mungkin pernah bilang kalau kau mungkin saja benar; mungkin saja adikmu masih hidup, tapi aku hanya melakukan itu untuk membuatmu setuju akan keputusanku, oke? Agar kau bisa memberi kesempatan untuk anak-anak itu, untuk mereka yang hidup. Taehee tidak ada di dunia ini. Dia sudah mati."

Karma bekerja dengan cepat. Dimulai lambat namun berakhir bagai angin, cepat dan telak. Jaehyun berpikir yang lebih tua hanya akan mengambil handuk untuk mengeringkan tangannya saja tapi sedetik kemudian ia mendapati dirinya dengan punggung yang ditempelkan di wastafel, pinggiran bak cuci itu menekan kulitnya. Ia menggeram kesakitan tapi tidak melawan.

[5] What Lies Ahead: Unmasked (JaeYong)Where stories live. Discover now