Part 46

191 27 2
                                    

Apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia menerima kenyataan dan mengemas barangnya, lalu bersembunyi di belahan bumi lainnya? Ia mengurus organisasi ini bertahun-tahun tanpa hambatan lalu kini lenyap, begitu saja? Bukankah seharusnya ia melakukan sesuatu?

Tapi apa? Seisi negeri ini akan memburunya dalam hitungan jam. Tak peduli apa pun usahanya untuk melawan, untuk memuaskan nafsu pembalasan dendamnya, ia sedang lemah. Meskipun ia membalikkan bumi ini beratus kali pun, ia akan tetap mendapatkan lebih banyak ganjarannya.

Apakah ini benar-benar akhir dari riwayatku?

Ketukan pada pintu menyeretnya keluar dari renungan menyedihkannya. Asistennya, Max, membuka pintu kamarnya dan menyembulkan kepala dari sana. "Tuan, seseorang mencarimu."

"Sudah kubilang jangan menggangguku—"

"Apa aku sebuah gangguan sekarang?"

Yunho mendengar suara yang tidak ia duga. Max meninggalkannya seraya Jaejoong masuk, menutup pintunya lembut dan membiarkan mereka berdua bicara secara pribadi.

Apa yang membuat Max berpikir bahwa membiarkan dokter ini masuk adalah ide yang bagus? Mantan Kingpin itu harus memaparkan aturan baru pada asistennya nanti.

"Bagaimana kau tahu aku ada di sini?"

Tidak ada hal lain di mata Yunho selain kebencian. Sebelumnya, bila mereka berada di ruangan yang sama, Jaejoong sama sekali tidak pernah melihat pria itu seantagonis ini. Membuktikan bahwa Jung Yunho tidaklah lebih dari seorang penipu, mengerahkan seluruh tenaga untuk menutupi niat busuk dan kejamnya, di balik topeng bertabur berlian seperti yang ia kenakan di gala Garnet.

"Kau pernah membawaku sekali ke sini saat..." Jangan ungkit itu, Jaejoong. "Kau membawaku ke sini satu kali dan berkata bahwa di sinilah kau menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak bersifat pribadi. Karena semua itu datang dan pergi. Tidak ada signifikansinya."

"Jaejoong, berhenti berbasa-basi. Apa yang kau inginkan? Apa kau datang untuk bergabung denganku?"

"Aku—"

Yunho memotongnya. "Kalau tidak, silahkan pergi. Aku tidak akan membunuhmu, Jaejoong. Aroma Red Phoenix selalu menguar dari tubuhmu. Itulah sebabnya aku tidak pernah melibatkanmu lebih dalam di organisasi ini, karena aku selalu tahu, orang buangan yang kupungut akan selalu kembali pada majikannya."

Asam pahit menetes dari kata-kata pria itu, menerobos masuk ke dinding es tak kasat mata yang membatasi mereka. Apa ia tahu efek dari ucapannya itu?

"Apa..." Pandangan Jaejoong mendarat pada telinga Yunho, tidak berani memandangi kedua mata yang dipenuhi kebencian itu. "Apa karena itu kau membuatku yang seorang dokter algojo, menjadi penghiburmu?"

"Apa kau menganggapnya lebih?"

Bagaimana rasanya mengutarakan perasaanmu, Jaejoong? Untuk mengakui pada dirimu sendiri bahwa kau hanyalah sekadar pendamping bisnis baginya? Bagaimana rasanya mendengar secara langsung dari Yunho, bahwa kau hanyalah sekadar salah satu orang dari banyak orang lainnya?

Ia tersenyum meski dadanya bergemuruh kencang. "Tidak."

Entah mengapa, jawabannya membuat Yunho semakin kesal. "Lalu kenapa kau ada di sini kalau kau tidak punya apa-apa untuk ditawarkan?"

"Aku ingin bertanya. Kenapa? Kenapa kau melakukan semua itu? Walau sudah berkali-kali kukatakan pada diriku sendiri kalau kau adalah seorang musuh, aku masih belum bisa mengerti. Kenapa kau harus bertindak sekotor itu?"

Yunho mengepalkan tangannya dan berputar untuk berdiri di dekat jendela seraya air hujan menetesi kacanya, memandang hampa situasi di luar. "Bukankah kita semua kotor? Kita hidup untuk menodai dunia ini. Kalau kita mencuci tangan, maka kita akan musnah. Kau seharusnya tidak mempertanyakan sifat alami kita seakan-akan kau dipaksa untuk datang ke sini."

Kenapa dia datang ke ruangan ini? Apa yang dia harapkan?

"...Benar. Kau benar. Aku hanya merasa aku layak mendapatkan penjelasan."

Yunho meliriknya sebelum kebencian yang menghiasi wajahnya digantikan oleh ekspresi heran dan ia kembali menghadap sang dokter, tergelak. "Jaejoong, jangan melihatku seperti itu. Aku tidak mau bersikap terus terang karena kau selalu mengerjakan tugasmu dengan baik, tapi seks hanyalah seks. Kau melihat dan menganggapnya lebih, kemudian seks bukan lagi sekadar seks. Kau seharusnya bertanya padaku lebih dulu, apakah aku ingin merasakan perasaan menyedihkan seperti itu atau tidak." Sebuah dengusan mengejek kemudian ia mengulurkan tangan ke arah sebotol anggur dan menuangkannya ke dalam gelas. "Inilah mengapa aku benci bersama orang lebih dari satu malam. Alih-alih menuntaskan hasrat, mereka mulai menyukaiku." Ia menyesap minumannya dan mengangkat bahu. "Jangan salah paham — aku tidak menyukaimu seperti yang kau inginkan."

Jaejoong salah besar jika ia mengira tidak ada lagi yang bisa menghancurkan hatinya lebih dari yang sudah terjadi.

"Bahkan tidak sedikit pun?" Suaranya masih stabil, secara mengejutkan.

Hening.

"Tak bisakah kau berbohong?" Apa aku baru saja memohon? Kenapa aku begitu menyedihkan?

Semua situasi ini lucu dan ia ingin menertawai dirinya sendiri namun sang dokter berpegangan pada sedikit harga dirinya yang masih tersisa.

Jung Yunho hanya menatapnya datar, cuek. "Aku sudah berbohong sejak awal. Kau menganggap hal yang remeh sebagai sesuatu yang besar."

Pada akhirnya, ia tidak punya pegangan lagi. Tidak ada kebenaran, tak juga dusta.

"Ini salahku — dan aku mengerti. Tidak ada salahnya mencoba mencari penjelasan yang layak setelah merasa dipermainkan."

"Kau memang mainan," Yunho mengatakannya seperti berbicara pada seorang anak kecil yang tidak mampu memahami hal sederhana. "Karena itulah kau merasa dipermainkan."

Saat ini, Jaejoong tidak merasakan apa-apa lagi. Ia mati rasa dan apatis. Mungkin memang lebih baik seperti ini. Ia tidak bisa mengelak bahwa ia tidak pernah membayangkan mereka berdua menjadi lebih dari ini. Ia mengangguk tegas dan menarik kerahnya sendiri untuk meredakan perasaan menyesakkan di lehernya. Cukup dengan percakapan ini. Ia sudah mendengar apa yang ia ingin dengar. "Mereka akan menyiksamu, Yunho."

"Aku tahu." Yunho menggeram dan membanting gelasnya, isinya berceceran. "Sebelum kau datang, aku sudah mempersiapkan diriku untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi di dekade-dekade berikutnya. Bisakah kau keluar, Jaejoong? Aku tidak punya waktu untuk menghibur musuh."

"Yunho, karena kau tahu sejak awal kesetiaanku hanya untuk Taeyong, aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku selamanya berutang budi padanya. Dialah yang memberiku kesempatan kedua, bukan kau. Jadi kalau dia memintaku untuk membunuhmu, aku akan melakukannya."

Raut wajah Yunho goyah dan untuk sedetik, Jaejoong mengira ia merasa sakit hati. Namun, itu hanyalah ilusi.

"Kau tidak akan bisa melakukannya." Yunho berkata dengan percaya diri.

Jaejoong lebih percaya diri darinya. "Aku bisa dan akan melakukannya. Maka jangan beri dia alasan untuk menyuruhku melakukannya, karena aku tidak akan bisa menolak perintahnya."

Sungguh ia tidak percaya bahwa itu adalah ucapan terakhirnya pada Yunho, namun Jaejoong menerimanya dan pergi, bahkan tidak melihat ke arah Max setelah pria itu mengantarnya di bawah hujan gerimis. Cuaca sepertinya sedang merasakan kesedihannya.

Seakan ia tahu ia akan dimarahi karena sudah membiarkan Kim Jaejoong masuk tanpa pemberitahuan, Max berlari ke dalam dan mengetuk kamar tidur Yunho 2 kali sebelum masuk setelah diberi izin.

Tetapi bukan satu atau dua tinjuan, Yunho melihatnya dengan mata penuh pengharapan.

"Max, aku dapat ide."

"...Benarkah?"

Yunho mendengus. "Kau tidak berpikir kita akan kalah begitu saja, 'kan?" Ia melirik asistennya sebelum mengambil anggurnya kembali, menenggaknya puas.

"Tapi, Tuan, merekalah yang membawa semua kartu unggulnya."

"Memiliki semua kartu tidaklah cukup kalau kau tidak punya yang terbaik. Mengetahui semua trik tidaklah cukup kalau kau tidak tahu caranya bermain." Sebuah senyuman miring melengkung di bibirnya dan ia melihat ke kolam, menyaksikan pantulan air hujan di sana. "Terkadang kau harus berbuat curang untuk menang."

[5] What Lies Ahead: Unmasked (JaeYong)On viuen les histories. Descobreix ara