EPILOG A

422 40 0
                                    

Bekerja di minimarket bukanlah pekerjaan terbaik yang ada di luar sana. Sejujurnya, masih ada banyak pilihan yang lebih baik. Namun untuk seseorang yang bahkan tidak memiliki ijazah SMA, ia tidak berhak untuk bersikap pemilih.

Sungguh.

Apa yang lebih buruk dari menjadi kasir paruh waktu di minimarket 24 jam adalah pergantian shiftnya yang payah. Berakhir tepat di pukul 2 pagi, di mana tidak ada lagi orang yang berkeliaran di perjalanan pulangnya. Taksi masih tersedia, namun bahaya penculikan masih menjadi pengingat tetap di koran France Today.

Lagi pula, diculik sekali sudah cukup dan dua kali itu keterlaluan.

Untungnya, tempatnya bekerja tidak jauh dari rumah. Berjalan kaki hanya membutuhkan 1 jam saja.

Kenapa aku memilih bekerja di sini, dari sekian banyak pilihan minimarket?

Oh, benar. Hanya toko ini yang menerima pegawai paruh waktu.

Ia bisa saja bekerja shift siang, namun seseorang yang merasa tubuhnya lebih berfungsi dengan baik di malam hari tidak akan bersedia bekerja di siang hari.

Sarapan di pukul 4 sore, makan malam dilakukannya dini hari.

Tubuh sialan. Otakku juga.

Perdebatan di pikirannya dihentikan oleh beberapa derap kaki yang bergema dari arah belakangnya.

Ia tidak berhenti berjalan, tapi ia tahu apa itu.

Bordeaux boleh jadi cantik di siang hari, tetapi saat malam tiba, ular mulai keluar dari sarangnya.

Kecepatan berjalannya tidak berubah. Ia berjalan seperti biasa. Langkah kaki itu semakin mendekat, semakin jelas terdengar.

Suara sarung tangan yang dikenakan bergaung di tengah sunyinya malam.

Dan saat ia merasakan sebuah tangan mendarat di bahunya, ia berputar dan menghantam wajah penyerang itu tak hanya sekali, tidak juga dua kali, dan ia nyaris lupa menghitung seraya menendang perut penyerang lainnya.

Pria-pria itu tidak gentar meski sasaran mereka adalah perempuan yang kuat dan terlatih. Malah, seringaian sinting itu menunjukkan bahwa mereka terpicu.

Ia meniup poni agar menjauh dari matanya dan mengibaskan tangannya, siap bertarung.

"Aku bisa melawan kalian semalaman, kau tahu."

Secara bersamaan, pria-pria itu menerjangnya namun dengan cepat dihindari, menunjukkan hasil latihan kelincahannya selama bertahun-tahun dengan menendang rahang salah satu dari mereka dan berbelok untuk menangkap lengan temannya, memitingnya ganas. Pria itu menjerit dan ia melepaskannya, lalu menarik lehernya dan mematahkannya.

Suara retaknya diikuti dengan tubuh lemas yang terjatuh, membuat penyerang lainnya ketakutan.

"Oke. Satu sudah selesai, satu lagi." Ia menggoyangkan telunjuknya, tersenyum miring. "Kemarilah, Sayang."

Pria itu mulai mencoba melarikan diri.

Namun ia tak bisa membiarkan itu terjadi. Karena kalau ia berhasil melaporkannya atas pembunuhan, maka ia akan mendapat masalah, bukan?

Ayahnya tidak akan senang bila harus menebus dan membebaskan anaknya dari penjara.

"Kau tidak memberiku pilihan lain."

Ia berlari lurus dan menarik sesuatu dari tas selempangnya. Berkilat di bawah pancaran lampu jalan yang dilewatinya sebelum melayang di udara dan menusuk leher pria itu.

Penjahat itu menekan lehernya untuk menghentikan perdarahannya namun sia-sia. Ia berlutut dan merasakan rambutnya dijambak dari arah belakang sebelum pisau itu ditekan lebih dalam, mengantarnya ke akhir hayatnya.

Ketika tubuh pria itu terjatuh di jalan, ia mencabut pisaunya keluar dan memasukkannya kembali dalam tas.

"Fiuh," bersiul atas kemenangannya, ia menendang perut korbannya sekali lagi sebelum kembali berjalan, terlihat dalam suasana hati yang sempurna.

Ia menyalakan sebatang rokok yang dijepit oleh jarinya yang masih terbalut sarung tangan dan dengan cepat menghirupnya untuk adrenalin.

"Itulah akibatnya kalau berurusan dengan Tanya."

*

Sarung tangan itu sudah dibuang di tempat sampah dekat rumahnya jadi saat ia melangkah masuk dan disambut oleh ayahnya yang kaku, buktinya sudah lenyap.

"Ah, hai? Kau belum tidur?"

"Kau lebih lama dari biasanya, Haera." Jaehyun berujar. "Ada apa?"

"Aku? Lembur." Ia tersenyum manis seakan ia tidak baru saja membunuh 2 pria sendirian dan memeluk ayahnya. "Jangan bilang aku membuatmu dan Haechan menunggu."

"Dia akan mengomel. Pergilah ke kamarnya."

"Kenapa? Aku bukan anak umur 10 tahun lagi!"

Jaehyun menggeleng dan melepaskan pelukannya. "Kau sudah 20 tahun dan kau akan pergi ke kamar kakakmu untuk dimarahi karena aku sudah menyerah dari tugas itu. Rambutku memutih karenamu."

Haera memutar matanya sebelum berjalan melewati Jaehyun.

"Tunggu," Jaehyun menghentikannya, alis terangkat. "Kenapa kau berbau seperti rokok?"

"Eh," ia memucat sesaat sebelum memberi tanda peace dengan jarinya seakan itu bisa membuat ayahnya melunak. "Lembur!" Lalu ia berlari ke kamarnya, menguncinya.

Jaehyun mendesah penuh kasih sayang dan menutup pintu utama, memeriksa kuncinya 2 kali sebelum pergi ke kamarnya. Namun sebelum ia masuk, matanya melayang ke arah pintu kamar Haera, dan ia teringat.

Teringat padanya.

Jaehyun meremas cincin yang menjadi liontin dari kalung yang ia kenakan.

Taeyong, kau benar. Kau tidak pernah pergi.

[5] What Lies Ahead: Unmasked (JaeYong)Where stories live. Discover now