Part 49

206 30 0
                                    

Sementara itu di dalam gedung, Johnny dan Yuta bergantian melawan para musuh yang menyerang. Ada sekitar 7 orang musuh, dan Yuta mulai kehabisan peluru.

"Apa-apaan, Johnny! Apa mereka ini monster?! Mereka tidak ada habisnya!" Yuta berteriak seraya bersembunyi di balik dinding, memeriksa satu magazen (tempat menyimpan peluru) lagi. "Fuck! Aku hanya punya 10 peluru! Apa kau punya lebih?!"

Dari tempat persembunyiannya, Johnny keluar dan melancarkan sebuah peluru terakhirnya pada seorang musuh, membidik perutnya. "Tidak ada! Apa yang harus kita lakukan?!"

Penembak dari Jepang itu menarik napas, singkat dan pendek sebelum melihat ke ujung koridor yang gelap. Ada jalan ke arah kanan yang akan membawa mereka ke ruangan tempat beberapa senjata disimpan. Ia melemparkan salah satu pistolnya ke tempat Johnny, benda itu mengenai kepala temannya.

Johnny melirik sinis padanya dan Yuta memimikkan rencananya dengan gerakan bibir.

"Kita akan lari," ia berkata pelan, berharap Johnny mampu membaca bibirnya. "Bersembunyilah sampai mereka berlari melewatimu. Aku akan menjebak mereka di gudang penyimpanan. Ketika mereka semua masuk, lemparkan granat." Yuta menelan liurnya dan melihat para musuh yang berkeliaran sebelum kembali melihat ke arah temannya. "Percayalah padaku. Ini akan berhasil."

Kalau saja mereka punya pilihan yang lebih baik daripada menyerah, maka itulah yang akan dilakukan Yuta. Rencananya itu akan membunuh semua lawan sekaligus. Mereka beradu pandang untuk beberapa saat sembari salah satu dari mereka mempersiapkan pelaksanaan rencana mereka yang kurang matang itu dalam hati, sedangkan yang satunya berdoa apabila rencana ini tidak berjalan lancar, harus ada setidaknya satu orang untuk mengabari yang lain tentang kematian mereka.

Yuta berharap teman-temannya akan merindukannya jika ia mati.

"3, 2, 1."

Di waktu yang bersamaan, mereka menghentak kaki untuk berlari keluar dari tempat persembunyian. Merundukkan kepala untuk menghindari hujanan peluru itu, Johnny menemukan sebuah ruangan dan bersembunyi di dalamnya sembari Yuta berlari lurus menuju area sasarannya. Untungnya, gudang itu masih belum terkunci.

"Johnny, ada banyak sekali senjata di sini!" Yuta berseru agar anggota Garnet itu mencarinya di ruangan di ujung koridor. Ketika ia berseru, ia sudah memanjat saluran udara dan menutupnya, bertepatan dengan para musuh yang dengan bodohnya jatuh ke dalam jebakannya itu.

Johnny mengambil granat dari sabuk senjata di tubuhnya dan berlari ke ruangan itu, mencabut pinnya lalu mendorongnya agar bergelinding di lantai. Salah satu musuh melihatnya, dan ia menyeringai seraya cepat-cepat mengunci pintu itu dari luar.

3 detik.

Dentuman itu menggetarkan seisi lantai oleh intensitas ledakannya. Beberapa granat di dalam ruang jebakan itu mulai meledak satu per satu, efek domino dari ledakan milik Johnny.

Karena hanya ada masa tenggang 3 detik, ia tidak sempat berlari terlalu jauh untuk menyelamatkan dirinya dari ledakan yang membuatnya terlempar beberapa kaki dan terseret di lantai. Serpihan besi yang melayang dari bom itu menancapi kulitnya dan ketika ia melirik ke tubuh bagian bawahnya, darah mulai menggenang di pakaiannya, inci demi inci. Rasanya begitu perih, namun seiring detik berlalu saat ia berusaha bangkit, ia mulai merasa kebas.

Inikah dia? Ia berandai-andai saat tubuhnya kembali terjatuh di lantai dan ia menekan salah satu luka terbuka di perutnya untuk memperlambat perdarahannya. Johnny melihat langit-langit ruangan, tak peduli pada debu semen yang menyelubungi seisi lantai itu.

"Ten..." Wajah sang perawat terlintas di matanya dan Johnny merasa hatinya jauh lebih perih daripada luka di tubuhnya.

Seperti inikah akhir dari mereka berdua? Bukankah akhir dari suatu kisah seharusnya ditutup dengan mengucapkan salam perpisahan?

[5] What Lies Ahead: Unmasked (JaeYong)Where stories live. Discover now