6. GADIS PERAMAL

1.8K 185 3
                                    

6. GADIS PERAMAL

Setelah polisi datang, kerangka Sasa pun dikuburkan secara layak. Ucapan terima kasih terus saja Anan dapatkan dari dosen dan keluarga Sasa.

Kini Anan telah dibanjiri banyak pujian dari teman-temannya. Bahkan ia dijukuki sebagai gadis peramal.

¤¤¤

Usai urusan Sasa selesai, Nathan mengajak Anan pergi ke taman kampus.

"Nan, lo ramal gue dong." Tak ada angin, tak ada hujan laki-laki itu meminta diramal.

Gadis itu membuang napas kasar. "Berapa kali gue bilang, gue nggak bisa ngeramal Than."

"Nggak bisa gimana? Ayolah Nan, please ramal gue satu kali ini aja," rengek Nathan membuat beberapa pasang mata menatap kearah mereka.

Anan berdecak kesal dan memutar bola matanya malas. "Emang kenapa sih? Kok minta ramal segala?" tanyanya heran dengan permintaan laki-laki itu.

"Gue lagi suka sama cewek, Nan. Gue mau tau apa dia juga suka sama gue atau enggak," balas Nathan.

"Oh ya? Yaudah deh, gue ramal lo sesuai yang Kakek itu ajarin waktu itu." Nathan tersenyum sumringah.

Nathan lalu mengulurkan tangan kanannya pada Anan. Gadis itu memperhatikan telapak tangan Nathan beberapa detik dan ternyata orang yang Nathan sukai tidak menyukai Nathan balik.

Anan terdiam, dia takut laki-laki itu sedih dan kecewa.

Haruskah gadis itu berkata jujur dan mengatakan bahwa orang yang ia sukai tak menyukainya?

"Gimana, Nan? Nan?" lamuan Anan pecah ketika Nathan memanggilnya.

"Emm... dia juga suka sama lo," ucapnya membuat wajah laki-laki itu berseri-seri dengan senyum tipisnya.

"Bener nih? Lo nggak bohong kan?" tanya Nathan memastikan.

Gadis itu hanya mengangguk kaku. Ia sebenarnya tidak tega jika harus berbohong. Tapi, bukankah lebih sakit lagi jika Nathan mengetahui yang sebenarnya.

Seketika Anan membelalakan matanya, ketika laki-laki itu memeluk Anan dengan erat.

"Jadi... kapan waktu yang tepat buat gue nembak dia, Nan?" kata laki-laki itu seraya melepaskan pelukannya.

"G-gue nggak tau! Udah ah, mending gue mau jenguk Desi," ujarnya lalu membuat laki-laki itu mendesah kesal.

"Yaudah deh, nggak papa. Yang penting kan gue udah tau, kalo cewek itu juga naksir sama gue," kata Nathan dengan menaik turunkan alisnya.

Mereka pun pergi dengan naik mobil Nathan. Selang beberapa waktu, keduanya tiba di rumah Nathan dan mendapati Desi yang tengah nonton TV.

"Desiii... gimana keadaan lo? Udah baikan belom?" tanya Anan langsung memeluk sahabatnya itu dan ikut duduk disofa.

"Gue udah baikan kok. Bahkan besok gue udah boleh masuk kampus lagi," ucap Desi tak lupa mengunyah makanan yang ada dimulutnya.

"Syukurdeh, gue udah kangen banget tau sama lo. Oh iyya, lo harus tau berita heboh di kampus." Mendengar itu, Nathan memilih masuk ke kamarnya ketimbang harus mendengar mereka berdua gibah.

"Berita heboh apa'an?" Gadis itu semakin kepo, ia langsung mendekatkan tubuhnya pada Anan. Diperutnya juga masih ada perban, jadi dia harus berhati-hati dan tidak banyak gerak.

"Lo tau kan lemari yang ada di kelas kita?" Gadis berambut pirang itu hanya mengangguk cepat.

"Ternyata di bawah lemari itu ada mayatnya Sasa, alumni di kampus kita. Kejadiannya itu udah sekitar 4 tahunan lah pokoknya. Dan dia dateng dimimpi gue, trus ngasih tau ke gue kalo mayatnya belom dikuburin," jelas gadis itu membuat Desi sedikit menganga tak percaya.

"Kok dia bisa masuk ke mimpi lo? Eh, maksudnya. Kok lo yang dikasih tau?"

"Yah mana gue tau. Tapi untungnya sekarang dia udah tenang, karna dia udah dikuburin secara layak."

Desi mengangguk mengerti dan tiba-tiba ia tersenyum kearah Anan. Gadis itu menatapnya balik dengan kening mengerut. "Kenapa lo?"

"Ramal gue juga dong," ucapnya dengan ekspresi sok imutnya.

"Ramal apa'an?" tanya Anan dengan ketus.

"Yah... lo ramal siapa jodoh gue lah. Boleh yah, gue cuman mau tau siapa jodoh gue. Siapa tau jodoh gue, Bright, Manu, atau... siapa gitu," kata Desi membuat Anan ingin sekali membuangnya ke dasar laut.

"Sini tangan lo," suruh Anan dan gadis itu mematuh dengan semangat mengulurkan telapak tangannya.

"Gue tau siapa jodoh lo, Des."

"Siapa?!" ucap Desi dengan sedikit berteriak membuat ART di rumahnya menoleh sekilas.

"Jodoh lo itu... ciri-cirinya tinggi, putih, pake kacamata, kurus, lumayan ganteng, pinter, trus baik."

"Gue tebak, pasti kak Eza!" seru Desi dan mendapat gelengan dari Anan. Itu berarti tebakannya salah.

"Kak Gilang?" tebaknya lagi.

Lagi-lagi gadis itu menggeleng. "Aha! Pasti kak Edo?"

"Bukan, Des. Lo dari tadi nebaknya ke kakak kelas mulu deh. Jodoh lo itu bukan kakak kelas," ujar Anan dengan menatap Desi yang kini mengerucutkan bibirnya.

"Trus, siapa dong?" tanya Desi sontak membuat gadis itu tersenyum sinis.

"Ngapain lo nyari yang beda kelas, kalo jodoh lo sendiri sekelas sama lo." Desi menarik satu alisnya.

"Siapa?"

Gadis itu mendekat dan berbisik. "Dodit," ucapnya membuat Desi menggerutu kesal. Sedangkan Anan, ia tertawa pecah dengan tangannya yang terus saja menyolek-nyolek dagu Desi.

"Ish, enggak! Mana mungkin dong gue berjodoh sama si cupu itu. Lo pasti bohong kan, Nan? Ayolah Nan, ramal yang bener."

"Iya-iya, gue bohong. Lagian lo siapa suruh sering ngejek Dodit, jodoh beneran tau rasa lo."

"Yaudah iya, gue nggak bakal ngejek dia lagi. Kalo gitu buruan ramal gue, please..."

"Huft! Nggak kakak, nggak adek, sama aja!" Kening Desi mengerut mendengar ucapan sahabatnya itu.

"Maksud lo?"

"Tadi kakak lo itu nyuruh gue juga buat ramal cewek yang ia taksir," ucapnya lalu meraih stoples yang berisi cemilan.

"Trus-trus?"

"Nathan bilang, cewek yang ia taksir itu naksir juga sama dia atau enggak. Tr-" ucapannya terpotong.

"Trus perasaan ceweknya gimana ke kakak gue?" Anan menatap geram kearah sahabatnya itu.

"Makanya kalo gue ngomong, lo jangan potong dong, Des," ujar Anan tetapi gadis itu hanya menyengir seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Iya, maap-maap. Yaudah lanjut, gue kepo banget nih."

"Waktu gue liat sih, ceweknya itu nggak ada rasa sama Nathan. Tapi..." Gadis itu menjelaskan ucapannya.

"Tapi apa?"

"Gue ngomongnya, kalo si cewek itu juga ada rasa sama kakak lo," ucap Anan, sedangkan Desi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. "Yah... gue ngomong gitu, karna gue cuman nggak mau kakak lo kecewa," lanjutnya dengan menggigit bibir bawahnya.

"Tapi kan, kalo kak Nathan marah gimana? Kalo dia tau yang sebenarnya gimana?" Pertanyaan bertubi-tubi itu membuat Anan semakin merasa bersalah. Tapi kan niatnya baik, ia hanya ingin Nathan tidak kecewa atau putus asa.

"Yah... lo jangan ngomong ke kakak lo lah. Biar in-" lagi-lagi ucapannya terpotong oleh seseorang yang tengah memperhatikan mereka dari tadi.

"Nggak perlu disembunyiin. Karna gue udah tau." Suara bariton itu membuat Anan langsung panas dingin.

"Na-Nathan?"

Bersambung...

Anantasya || Indigo [ REVISI ]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora