70. JADI TUMBAL

327 42 2
                                    

70. JADI TUMBAL

Kini Anan berada di hadapan teman-temannya dengan tubuh yang sedang menerawang, ia melanjutkan kejadian yang terjadi di rumah Rama tadi. Anan menyandarkan badannya di sofa sembari memejamkan mata, ia berusaha memfokuskan dirinya.

Rasanya begitu menakutkan, membuatnya ingin sekali muntah. Hingga ditegukan terakhir, ia sontak mendapat pujian dari Ranti karna berhasil menyelesaikan persyaratan pertama.

"Bagus! Sekarang kau bisa pergi, dan jangan lupa untuk datang kemari lagi besok!"

Perempuan itu mengangguk, ia kemudian meninggalkan rumah Rama dengan keadaan mual. Ranti dan cucunya mulai menyiapkan apa-apa saja yang akan digunakan saat aborsi besok. Mereka memanggil seorang nenek tua yang sebaya dengan Ranti untuk membantunya nanti.

Brak!

Tiba-tiba sebuah benda jatuh di atas lemari, keduanya sontak menoleh ke sumber suara. Kedatangan sosok tersebut nampaknya sudah menjadi hal biasa bagi Ranti dan cucunya. Mereka sama sekali tidak terkejut saat dihadapkan sosok besar berwarna hitam, taring yang tajam, mata yang memerah mengeluarkan darah, serta lidah panjang hingga menyentuh lemari.

"Nampaknya kau sudah tidak sabar," ucap Ranti tersenyum miring pada sosok itu.

"Tentu saja! Wanita tadi sangat cantik, aku yakin dia pasti bisa menjadi pemuas nafsuku yang ke sekian kalinya!" Sosok tersebut tertawa melengking hingga membuat telinga Rama ingin sekali pecah.

Ranti berbohong pada Sintiya bahwa hanya janinnya saja yang akan menjadi tumbal, rupanya ia juga. Ini bukan yang pertama kalinya mereka berbohong pada korban, tapi ini sudah kesekian kalinya.

Melakukan perjanjian pada jin membuat mereka masuk ke lingkaran hitam, dan sangat sulit untuk mereka bisa keluar. Hanya karna ingin hidup lebih lama lagi di dunia serta memiliki kekuatan yang besar, Ranti melakukan segala hal cara. Rama yang pada dasarnya begitu menyayangi Ranti, dan tinggal dia satu-satunya keluarga yang Rama punya, ia rela melakukan apa pun.

Singkat cerita, hari pun berganti. Waktu yang ditunggu-tunggu bagi Rama, Ranti, serta sosok besar itu pun tiba. Sintiya kini sudah berada di salah satu ruangan khusus untuk aborsi, ia terbaring di atas kasur putih yang berukuran lumayan besar, dan warna yang sudah usang.

Sintiya meneguk ludahnya kasar, di sekelilingnya sudah ada Ranti, Rama dan wanita tua yang akan membantunya aborsi.

"Apa kau sudah siap?" tanya Ranti kala melihat raut wajah Sintiya yang berubah cemas.

"I-iya! Cepat lakukan! Aku tidak ingin berlama-lama di ruangan ini!" desaknya, sembari menatap sekitar yang begitu gelap karna lampunya yang remang-remang.

Sintiya memejamkan matanya, ia mulai merasakan area bawahnya begitu sakit dan sangat nyeri. Ia meremas kasur sambil menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit yang membuat kedua matanya basah karna air mata.

Detik kemudian pandangan Sintiya menjadi gelap, ia pingsan karna saking tidak kuatnya, namun samar-samar ia mendengar Rama dan Ranti tertawa dan diikuti pula oleh suara laki-laki yang terdengar begitu berat dan melengking.

"S-sakit ... "lirihnya, saat kesadarannya sudah hilang.

***

Sintiya membuka matanya perlahan-lahan, ia melirik sekitar berusaha untuk mengingat-ingat apa yang terjadi padanya terakhir kali. Ia mengusap perutnya yang sudah tidak sakit itu. Aneh, rasa sakitnya sudah menghilang dan digantikan dengan rasa bersalah saat mengingat janinnya yang telah ia tumbalkan.

Namun, tidak lama dari itu, ia semakin bertanya-tanya kala melihat ruangan tersebut sudah berbeda dengan ruangan yang terakhir kali ia tempati sebelum dirinya pingsan.

Anantasya || Indigo [ REVISI ]Where stories live. Discover now