40. TENTANG EMELY

759 77 3
                                    

40. TENTANG EMELY

"Iya deh iya. Kalo gitu gue ganti baju aja. Bayyy."

"Iya." Sambungan telpon pun terhenti, Anan segera mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke rumah Desi.

***

Kini Anan telah selesai menyalin baju dan menunggu angkot lewat. Ditengah-tengah ia menunggu, suara klakson motor membuatnya terkejut.

"Sorry-sorry, lo jadi kaget gara-gara gue," ucap orang itu yang baru saja turun dari motor miliknya.

"Iya, gak papa. Lo sendiri ngapain ke sini? Bukannya kata Desi lo mau pergi yah, bareng nyokap bokap lo," balasnya pada laki-laki di depannya itu, yang tak lain adalah Nathan.

"Iya, tadi sih gue emang mau pergi. Tapi, pas Desi ngomong kalo lo mau ke rumah... gue balik lagi deh," ucap Nathan dan Anan beroh ria.

"Yaudah, buruan naik. Desi udah nunggu di rumah." Anan mengiyakan, dan langsung naik kemotor. Tak lama motor itu pun melaju dengan kecepatan rata-rata. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, akhirnya mereka tiba di depan rumah Nathan.

"Akhirnya lo dateng juga," ucap Desi ketika melihat seseorang membuka pintu.

"Iya."

"Yaudah, buruan panggil anak itu. Gue pengen nanya-nanya nih sama dia," katanya seraya duduk disofa bersama Anan dan Nathan.

"Iya-iya bentar."

Kepala Anan celingak-celinguk melihat sekitar, sebab ia merasa Emely mengikutinya tadi. Sorot matanya tertuju pada arah tangga yang ternyata adalah anak perempuan itu.

"Can you come here? (Bisakah kau kemari?)" ucap Anan dalam hati. Karna sepengetahuannya, kita bisa mengobrol dengan sosok yang tak kasat mata dalam hati.

"Certain... (Tentu...)" jawabnya lalu perlahan turun dari tangga dan mendekat pada Anan. Sedangkan Desi dan Nathan tidak bisa melihatnya, mereka cukup diam sambil menunggu arahan dari Anan.

"Terus, apa yang mau kalian tanyain?" tanya Anan kepada kedua kakak beradik itu.

"Tanya aja, kapan dia meninggal? Atau nggak tahun berapa?" Nathan bertanya dan langsung diangguki oleh Anan.

"I want to know, what year did you die? (Aku ingin tau, kau meninggal kira-kira tahun berapa?)" Ia kembali bertanya pada Emely yang kini tengah berdiri di depannya.

"Hmm... I forgot. 'Cause I'm still a kid, (Emm... aku lupa. Karna aku masih kecil,)" sahut Emely dengan wajah imutnya.

"Dia lupa tahun berapa," katanya setelah mendengar jawaban dari Emely.

"Kalo gitu tanya gini aja. Kemana ibumu sekarang?"

"Emely where's your mom? Is he still alive, or dead like you? (Emely, ibumu kemana? Apa dia masih hidup, atau sudah meninggal sepertimu?)" tanyanya lagi.

"He must be like me. But, I don't know where he is. Though... I miss him. (Dia pasti sudah sepertiku. Tapi, aku tidak tau dia kemana. Padahal... aku rindu dengannya.) kata Emely dengan raut sendu.

Anan yang menyadari itu, langsung berganti topik. Dia tidak ingin Emely sedih karna pertanyaan yang ia lontarkan. "Hemm... Emily. I want to ask, why are you in Indonesia? Is your father from Indonesia? (Hemm... Emely. Aku ingin bertanya, kenapa bisa kau ada di Indonesia? Apa ayahmu asli Indonesia?)

"Yes. My mother lived and was born in Holland, while my father lived here. Indonesia, (Ya. Ibuku tinggal dan lahir di Belanda, sedangkan ayahku tinggal di sini. Indonesia,)" jawabnya dengan ekspresi yang tidak sedih lagi.

"Oh iya, pertanyaan tadi nggak usah dibahas yah. Soalnya dia sedih kalo nginget ibunya," ujar Anan kepada mereka yang sedari tadi menunggu jawaban.

"Oh gitu, yaudah deh kasian juga kan. Terus, lo tanya apa tadi?" Desi bertanya sembari membuka kulit kacang dan memakannya.

"Gue nanya, dia kenapa bisa ada di sini. Dia jawab, ayahnya itu asli Indonesia, sedangkan ibunya asli Belanda," jelasnya dan keduanya mengangguk mengerti.

"Tasya, can I go now. There's something scary here. (Tasya, apakah aku sudah boleh pergi. Ada hal yang menakutkan di sini,)" kata Emely meminta ijin untuk pergi.

"Yes, please if you want to go. I can't stop you, (Boleh, silahkan jika kau ingin pergi. Aku tidak mungkin melarangmu,) jawab Anan. Detik kemudian Emely menghilang dari pandangan Anan. Entah mau pergi kemana anak itu? Anan sendiri tidak tahu.

"Dia udah pergi," ujar Anan dan mereka beroh ria.

"Hm, jadi pengen makan martabak deh. Kalian di rumah aja yah, gue mau keluar beli martabak dulu," kata Nathan lalu beranjak keluar rumah dan melajukan motor miliknya.

"Sambil nunggu kak Nathan pulang, nonton drakor yuk Nan. Episode yang minggu lalu udah ada lanjutnya loh," ucapnya seraya membuka laptop.

"Ah, yang bener? Yaudah kita nonton aja sekarang, gue nggak sabar pengen liat lanjutannya." Setelah itu mereka pun menonton drakor dari laptop milik Desi.

Anan memang tidak terlalu suka dengan oppa-oppa korea, tapi dia pencinta drakor. Beda halnya dengan Desi yang sangat tergila-gila dengan member BTS. Lihat saja, seisi kamarnya memiliki wajah BTS. Mulai dari bantal, kasur, dan background di dinding juga BTS.

Setelah hampir sepuluh menit series itu diputar, Nathan pun pulang dengan membawa martabak untuk mereka nikmati.

"Nih, gue udah beli martabak." Nathan menyerahkan martabak tersebut kepada kedua gadis itu, mereka pun menerimanya.

"Nonton apa sih? Serius amat," kata laki-laki itu seraya ikut duduk di samping mereka yang tengah fokus menonton drakor.

"Yaelah, kirain apaan. Ternyata cuman drakor. Ganti aja deh yang seru, kayak film horor gitu," ujarnya membuat mereka menggeleng cepat tanda menolak.

"Nonton aja sana dilaptop sendiri. Yuk Nan, kita ke kamar gue aja. Di sini berisik tau." Desi menarik lengan Anan berjalan menuju kamarnya.

Sedangkan laki-laki itu hanya geleng-geleng kepala. "Udah dibeliin, bukannya ngomong makasih malah pergi," kesalnya. Kemudian ia merongoh saku celananya dan mengeluarkan benda pipihnya.

"Gas, lo ke rumah gue dong, ajak Roy juga," ucap Nathan pada seseorang dari sambungan telfon.

"Oke. Tapi, lo jangan lupa siapin sasajen yeh," jawabnya dengan terkekeh.

"Dih! Udah, buruan gue tunggu. Gue udah beli martabak nih, kan sayang banget kalo nggak dimakan," katanya menatap martabak yang memang lumayan banyak ia beli.

"Oke-oke, gue Otw nih sekarang." Sambungan telpon pun terputus, kini Nathan hanya akan menyiapkan Ps nya. Lagi pula sudah lama juga ia dan teman-temannya tidak bermain Ps.

Selang beberapa menit, kedua temannya pun datang. Mereka langsung bermain sepuasnya, sebelum orang tua Nathan pulang dari pesta pernikahan temannya.

"Si Desi ikut juga?" tanya Roy disela-sela tengah bermain game.

"Enggak. Dia lagi di kamar bareng Anan," jawabnya yang kini tengah tunggu giliran sambil mengunyah martabak yang ia beli tadi.

"Anan? Dia nginep?" Nathan mengangguk mengiyakan ucapan Agam.

"Desi nyuruh dia buat nginep di sini."

Bersambung...

Anantasya || Indigo [ REVISI ]Where stories live. Discover now