30. TERBONGKAR

980 100 0
                                    

30. TERBONGKAR

Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya tak percaya. "Nggak mungkin. Lo jangan ngarang dong, Des!" kesal Anan, sedangkan gadis itu tersenyum tipis.

"Gue nggak bohong. Mereka itu keluarga lo yang asli," ucap Desi meyakinkan.

"Yaudah, sekarang lo ceritain semuanya. Jangan bikin gue makin penasaran," kata Anan dengan sesekali memijit pelipisnya.

"Gue bakal cerita... tapi nggak sekarang."

"Lah, kenapa?"

"Kakak lo nggak bisa nemuin lo secara langsung. Jadi tunggu besok pagi aja, gue bakal ke kosan lo." Setelah itu Desi bergegas pergi. Meninggalkan Anan yang kini masih bertanya-tanya dan foto ditangannya.

***

Malam sudah semakin larut, namun Anan masih juga belum bisa beristirahat. Soal tadi, ia masih kepikiran. Di tambah lagi dengan tugas di kampus yang masih saja menumpuk.

Ia melirik kearah jam dinding, pukul 2 dini hari. Sedangkan ia sudah harus bersiap ke kampus pukul 7 mengikuti kuliah tamu. Dan parahnya lagi kuliah itu wajib dihadiri oleh seluruh mahasiswa jurusan. Kalau tidak, bisa jadi ketua jurusan kecewa berat pada mahasiswanya. Belum juga ia mengetahui perihal foto itu, kini ia harus menundanya dulu.

"Hoamm... mending gue tidur ajalah," gumam Anan disela-sela ia tengah menguap.

Sejujurnya ia sudah diwanti-wanti untuk tidak tidur larut. Apalagi mengingat kondisinya yang sering sakit kepala. Malam itu, rasanya ia tidak bisa tidur nyenyak kalau tugas kuliah dan ucapan Desi kini terus saja menghantui pikirannya.

Ia mengusap wajahnya dan mengambil wudhu, lalu menyempatkan sholat sunnah. Selang beberapa menit, ia telah selesai salat dan langsung merapikan kertas-kertas yang berserakan di meja belajarnya. Setelah kegiatan itu selesai, ia segera naik ke kasur untuk tidur.

Tak lupa Anan memasang alarm salat subuh. Semoga lelah ini akan segera sirna. Meski hanya tidur dua jam, semoga itu bisa membuatnya segar dipagi nanti.

Tiba-tiba badannya menggigil lagi. Sampai akhirnya, dirinya terbangun saat adzan subuh berkumandang. Dengan langkah gontai ia mengambil wudhu dan mulai menunaikan salat subuh. Anan tak kuat, hingga seusai salat ia memutuskan untuk beristirahat kembali.

Alarm berdering, pukul 07:00. Ia kesiangan dan sama sekal belum bersiap-siap. Ia meraih ponselnya dan mulai mengetik pesan ke salah satu teman kelasnya. Meminta tolong untuk diijinkan tidak mengikuti kuliah tamu karena sakit. Suratnya ia katakan akan menyusul. Anan menghela nafas, rasanya badannya susah digerakkan. Dingin, ia pun menarik selimut dan akhirnya pandangannya kini gelap.

Selang beberapa waktu, kedua matanya mengerjap-ngerjap dan manatap langit-langit kamar kos. Sudah berapa lama ia tertidur atau bahkan pingsan? Ternyata ia tak sendirian di kosan itu, terlihat samping tempat tidurnya ada Desi yang tengah meletakkan teh hangat.

"Gue khawatir, semenjak lo ngirim pesan sebelum kuliah tamu tadi. Jadi... gue putusin datang cepet kesini sehabis kuliah tamu," jelas gadis itu seraya menatap sendu kearah Anan yang kini terbaring lemas.

"Nan, gue pesenin makan yah. Lo pasti belum sarapan," katanya dan Anan hanya mengangguk lemah. Desi pun meninggalkan Anan seorang diri. Anan mengiyakan, membiarkan Desi keluar masuk dari kamar kostnya.

Tak menunggu waktu lama, Desi datang dengan membawa dua bungkus nasi padang. "Nih, gue pesen yang enak Nan. Biar lo cepet sembuh," ucapnya dengan menyengir kuda. Dengan segera, Anan pun memakan nasi padang pemberian Desi dan juga tak lupa meminum teh hangatnya.

Keadaannya sudah lumayan membaik, mungkin saja karna teh hangat buatan Desi tadi. "Oh iyya, gue harus bayar berapa Des?" tanyanya polos membuat Desi memasang wajah yang sulit diartikan.

"Hah? Bayar apa? Ga usah bayar lah. Contekin gue tugas aja, Nan." Gadis itu tertawa, begitu pun dengan Anan.

Mereka pun sedikit mengobrol soal di kampus tadi, hingga akhirnya Anan baru ingat jika ia ingin bertanya soal foto itu. "Des, katanya lo mau ngasih tau ke gue soal foto kemarin. Buruan, dari semalam gue kepikiran terus tau," ucap Anan dan Desi mengangguk mengiyakan. Mulutnya pun kini berkomat-kamit menceritakan semuanya pada Anan.

"J-jadi lo ketemu juga sama perempuan itu?" tanyanya setelah hampir beberapa menit Desi bercerita.

"Iya.. dan dia itu kakak kandung lo. Dia meninggal begitu pun sama nyokap lo karna mereka dibunuh, sama b-bokap lo sendiri," ujar Desi dengan terbata-bata. Takut jika Anan shock dan malah drop.

Anan menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangannya. Kemudian, ia teringat tentang hp yang Kakek itu berikan. Segera ia mengambilnya di atas nakas dan mengecek apa-apa saja yang penting dari dalam hp itu.

Ia masuk ke lagu dan menekan tombol play. Kini yang ia dengar hanyalah sebuah percakapan antar laki-laki dan wanita.

"J-jadi kamu yang sudah bunuh ibuku? Mertuamu sendiri?!" ucap wanita itu dengan suara serak.

"Iya! Sekarang saya sudah puas dan bebas. Karna sudah tidak ada lagi yang melarangku untuk bermain dengan wanita-wanita lain!" jawab laki-laki itu pula diakhiri dengan tertawa terbahak-bahak.

"Dasar brengsek! Aras dan Anan pasti malu punya ayah bejat sepertimu!"

"Aku tidak peduli. Yang terpenting sekarang, akan kubuat kau dan kedua anakmu itu mati dengan pisau ku ini."

Detik kemudian hanya suara langkah kaki yang terdengar.

"Aras, Anan, ayo kita pergi dari sini."

"Tidak semudah itu sialan!"

Jleb!

"Mama!"

Anan tersentak kaget ketika ia mendengar jelas sesuatu benda yang menusuk wanita itu.

Rekaman itu pun usai, sedangkan Anan kembali mengingat apa-apa saja yang berhubungan dengan semua ini. Jangan bilang laki-laki yang ada dipenglihatannya malam itu, Ayahnya?

Bersambung...

Anantasya || Indigo [ REVISI ]Where stories live. Discover now