14. LAKI-LAKI MISTERIUS

1.3K 122 0
                                    

14. Laki-laki misterius

Flashback on.

Suara langkah kaki itu terdengar begitu jelas dan nyata. Entah keberapa kalinya gadis berusia 15 tahun itu lagi-lagi mengintip lewat jendela kamarnya. Penasaran pada seorang laki-laki yang selau lewat di jalan depan rumahnya, ketika hujan lebat lepas jam sepuluh malam. Arah jalannya pergi ke hutan, berpapasan dengan rumah Neneknya di kampung.

Gadis itu bernama Anan, orang tuanya menitipkan gadis itu ke kampung, rumah Neneknya. Orang tua Anan pergi bekerja di luar kota, terpaksa gadis itu tinggal dan pindah sekolah di kampung Neneknya.

Tepat pukul sepuluh malam, Anan berada di ruang tamu bersama sepupunya, Bela.

"Bel, kamu tau nggak laki-laki yang sering lewat tengah malam di depan rumah kita?"

"Emangnya kenapa, Kak? kalau menurut aku dia bukan manusia deh, masa ia ada yang berani jalan tengah malam pas hujan lebat gitu," jelas Bela, adik sepupunya.

"Ma-maksud kamu hantu? Nggak mungkinlah, ada hantu ganteng gitu!"

"Emang kak Anan pernah liat mukanya?" tanya Bela, membuat Anan terdiam. Dia memang tidak pernah melihat wajah laki-laki itu, sebab laki-laki itu selalu memakai masker hitam dengan topi hitam juga.

¤¤¤

Malam ini Anan benar-benar sial, acara festival seni di sekolah tadi memakan banyak waktu. Liat saja sekarang Anan baru sampai di teras rumah, pasti Bela dan Neneknya sudah tidur. Ditambah lagi hujan lebat yang membuat orang-orang begitu nyaman di bawah selimut hangatnya. Anan hanya menghela napas kasar, dikala dia sudah tiba di rumah sang Nenek dengan keadaan gelap gelita.

"Astaga!!" Gadis itu terkejut melihat jam di pergelangan tangannya, kini menunjukkan pukul 21:32. Bukankan ini waktunya laki-laki itu itu datang. Ya tuhan bagaimana ini?

Dengan cepat, Anan segera mengedor-ngedor pintu rumah dengan kuat. Nihil, tak ada jawaban dari dalam rumah. Rasa takut kini menyerang sekujur tubuh Anan.

Seketika gadis itu terbelalak, ia menelan ludahnya susah payah ketika bunyi sepatu bot yang beradu dengan aspal dan air hujan kini terdengar lagi.

Benar dugaan Anan, laki-laki itu datang lagi. Tubuh Anan terasa kaku, tak sanggup mengedor-ngedor pintu seperti tadi.

Aneh. Suara langkah kaki itu terhenti di belakangnya. Anan meremas kuat seragam sekolah SMP-nya karena ketakutan. Ia mencoba untuk menoleh ke belakang, tak sampai menatap wajahnya Anan hanya melirik celana dan tangan kirinya terangkat karena memegang payung dan tangan kanannya... Astaga!

Bukankah itu golok panjang! Untuk apa itu? Tak berapa lama laki-laki itu berjalan mendekati pada Anan. Sudah dipastikan jantung Anan berdetuk dua kali sangat kencang.

Ceklek

"Kak Anan kenapa lama banget pulangnya? Kalo orang tua kakak tau, mereka pasti marah."

Bela yang baru saja membuka pintu rumah, langsung saja Anan menerobos masuk. Gadis yang tengah memakai baju tidur doraemon itu hanya mengerutkan keningnya heran. Ia mengacuhkan bahunya tak tahu dan menyusul Anan yang telah masuk kamar duluan.

Setelah membersihkan diri dan bersiap untuk tidur, Anan merasa sangat haus dan dia pun berjalan ke arah dapur. Dahinya mengerut ketika melihat Neneknya yang sibuk memasak kue di dapur sendirian. Aneh, untuk apa nenek itu membuat kue malam-malam?

"Nenek ngapain bikin kue malem-malem gini?" tanya Anan dengan mendekat.

"Oh, kau terbangun rupanya," kata Nenek Ira yang belum tau jika Anan sebenarnya baru pulang sekolah. "Nenek mau buatin kue untuk cucu temen Nenek. Dia itu anak yang baik, makanya Nenek bikin kue. Besok kamu saja yang bawa ke rumahnya yah," lanjutnya lalu menutup oven.

Gadis itu hanya mengangguk, seraya meneguk air minumnya. "Tapi Nek, rumahnya di mana?"

"Kamu jalan saja ke arah hutan, ada perkampungan kecil di sana, rumahnya itu belum dicat."

Anan terdiam. Jadi di sana ada perkampungan, pantas saja laki-laki misterius itu sering berjalan ke arah sana. Tapi kenapa ia membawa golok waktu itu? Apa dia pembunuh? Ah, mana mungkin. Umurnya saja masih muda, sekitar 18 atau 19 tahunan.

Alhasil Anan mengiyakan perintah dari Neneknya, Ira. Pagi-pagi sebelum ia berangkat ke sekolah, ia mampir dulu ke rumah cucu teman Ira. Ia berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh salah satu warga tadi.

Tak seperti yang ia pikirkan, ternyata kampung ini tak menyeramkan. Walaupun tak banyak rumah tapi lingkungan di sini lumayan bersih, ada jalan lain selain jalan masuk ke kampung. Jalanannya cukup lebar, hingga beberapa mobil bisa masuk ke sini. Seperti mobil Avansa berwarna hitam yang tepakir di depan rumah yang akan Anan datangi.

Anan pun mengetuk pintu rumah itu dengan sedikit canggung. Selang beberapa waktu, akhirnya seorang wanita tua membuka pintu dengan tersenyum ramah.

"Assalamualaikum," ucap Anan sopan.

"Walaikum salam. Kamu Anan ya, cucu Ira," tebak Nenek itu dan Anan hanya mengangguk tersenyum.

Anan pun dipersilahkan masuk dan mereka pun mulai bercerita panjang lebar.

Selang beberapa menit, seseorang laki-laki memakai kaus putih polos, bibirnya pucat dan tubuhnya terlihat lemah bersandar ke sofa.

"Perkenalkan ini Rama, cucuku yang sudah berapa hari ini demam," ucap wanita yang bernama Ranti itu. "Setiap malam, Rama sering keluar hujan-hujanan," lanjutnya dengan menatap sendu cucunya itu.

"J-jadi laki-laki yang sering jalan ke arah hutan tengah malam itu... cucu Nenek?" Ranti hanya mengangguk.

"Anak Nenek, yaitu Papanya Rama meninggal dunia. Makanya Rama jadi sedih dan sering keluar malam-malam ketika hujan lebat. Dia melupakan semua kesediaannya di bawah hujan," jelas Ranti seraya mengusap surai rambut cucunya itu.

"Sikap dia juga gampang berubah-ubah, kadang dia jadi ramah dan kadang juga jadi cuek."

Mendengar itu, Anan juga ikut prihatin dengan Rama. Mata yang awalnya terlihat sendu, seketika membulat lebar. Sekelebat asap hitam mengelilingi tubuh Rama yang tengah tertidur.

"I-itu asap apa?"

Flashback off.

"Hei, Nan!" Lamuan gadis itu pecah ketika Desi terus saja memanggil-manggil namanya.

Oh yah! Dia ingat sekarang. Rama adalah laki-laki yang membuatnya ketakutan setiap malam. Melihat asap hitam yang mengelilingi tubuh Rama tadi, mengingatkannya dengan laki-laki misterius sewaktu ia masih tinggal di rumah almarhumah Neneknya dulu. Bisa-bisanya Anan tidak mengenali Rama, begitu pun sebaliknya.

Mereka sudah ada di dalam kelas dan tinggal menunggu dosen masuk untuk mengajar.

"Apa?"

"Tuh." Anan menoleh kearah depan papan tulis, dan melihat Rama tengah menatapnya tajam.

Ternyata sedari tadi, Rama sedang memperkenalkan diri dan Anan tak melihat laki-laki itu masuk ke kelas.

"Kenapa kau melamun?" tanya Rama dengan formal.

Anan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "M-maaf Ram. Eh, maksud saya. Maaf Pak," jawab gadis itu dengan menyengir.

"Baik, sekarang kita lanjutkan," ucap Rama dengan muka datarnya.

Anantasya || Indigo [ REVISI ]Where stories live. Discover now