52. DIA DATANG?

629 67 0
                                    

52. DIA DATANG?

"Excuse me?" sahut Nisa. Anan hanya bisa menaikan sebelah alisnya.

"Konyol sih, tapi begitulah rumor yang beredar. Dia sering menyendiri, menatap orang dengan sinis, bibirnya selalu mengkomat-kamitkan sesuatu. Hingga satu hari, dia bertengkar dengan teman perempuan sekelasnya. Ia mengatakan bahwa temannya itu bentar lagi akan menemui ajalnya. Siapa yang tidak kaget coba? Mungkin si wanita ini kesal dan tidak terima jika seseorang berbicara seperti itu secara tiba-tiba. Karena hal itu, teman-temannya pun mulai menjauhi, bahkan hampir satu sekolah."

"Terdengar seperti sebuah cerita-cerita mistis murahan," ucap Fira.

Tanpa sadar kepala Anan pun ikut mengangguk menyetujui pernyataan Fira.

"Bener! Gue juga memiliki pendapat yang sama. Tapi, setelah tau kelanjutannya, mungkin kalian perlu berpikir ulang soal cerita yang terdengar mengada-ngada ini."

"Maksud lo?" sahut Anan.

"Selang satu bulan setelah insiden Ramalan Kematian itu." Kedua tangan Desi terangkat dan menggambarkan tanda kutip. "Teman perempuannya itu tiba-tiba kecelakaan dan tewas di tempat."

Keheningan pun terjadi, mereka saling memandang, mencoba mencerna kalimat yang diutarakan oleh Desi tadi.

"Gila, nggak tuh? Sejak kejadian itu, teman-temannya makin ngejauhin dia. Melakukan perundungan, dicap sebagai wanita terkutuk, penyihir, titisan setan.." Desi mengambil jeda dan melirik ke arah jam dinding.

"Well, akhirnya ia jadi benci sama dirinya sendiri." Mereka semua berusaha untuk menutup mulut agar bisa mendengarkan kisah selanjutnya.

"Suatu waktu, ia dilaporkan menghilang oleh kedua orang tuanya. Selama satu bulan ia nggak pernah pulang, di minggu-minggu liburan juga dia nggak ngabarin keluarganya.

Terus waktu Ibunya nyoba mengontak gadis itu, sama saja, seakan-akan ia memutus segala jalur komunikasi yang mengarah sama dia. Melaporlah keluarganya ke pihak sekolah. Pihak sekolah kita akhirnya coba menggeledah kamarnya di kosan, dan temannya bilang kalo gadis itu masih sering ada di kamarnya hingga 2 hari terakhir kemarin ia nggak pulang."

"Kenapa temennya nggak ngasih tau, kalo dia nggak pulang ke kosan?" ucap Fira.

"Harusnya dia tau kalo teman sekamarnya nggak ada, ia pasti bakal laporin ke pemilik kosan."

"Iya, harusnya kayak gitu." ucap Desi. "Tapi, ingat, dia murid yang dijauhi teman-temannya. Gue rasa mereka udah masa bodoh sama kehadiran atau ketiadaan gadis itu."

Fira dan Nisa hanya mengangguk. Sedangkan Anan memilih diam dan menunggu Desi melanjutkan kembali ceritanya.

"Karena kedua orang tuanya nggak bisa nemuin dia di manapun, akhirnya pihak sekolah bersedia buka CCTV di area kelas, lobby lantai 1 hingga 4 dan pintu gerbang sekolah." Desi teralihkan pada handphonenya yang bergetar, dan tersenyum kecut ketika membaca nama yang tertera di layar.

"Dia rmang keluar kelas sore itu, bawa tas sama buku-bukunya juga. Ia masih terlihat di lobby lantai 4, hingga lantai 3 dan kemudian ia tidak terlihat kembali."

"Hilang gitu aja?" sahut Nisa.

"Kata orang-orang yang hanya lihat cctv nya secara sekilas, ya, dia emang kayak menghilang gitu aja."

"Tapi, dia nggak menghilang," sahut Anan. Fira dan Nisa dengan bebarengan saling mengkerutkan dahi. "Di lantai 2, ada 2 cctv yang bertengger di setiap sudutnya. Ada satu cctv yang memiliki blind spotatau titik buta dimana orang nggak akan bisa tertangkap oleh cctv tersebut. Sebuah ruangan tepat berdiri di titik buta itu." Desi menyeringai mendengar penjelasan dari Anan.

"Ruang seni pahat dan lukis," sambungnya.

"Bingo!" sahut Desi. "Ruang seni lukis ada di titik buta cctvlantai 2 itu. Dan gadis tersebut akhirnya ditemuin di Ruang Seni Pahat dan Lukis."

"Terus?" tanya Fira tidak sabaran.

"Ia ditemuin sedang duduk di kursi lukisnya menghadap kanvas. Beberapa kanvas berisikan lukisan berserakan di lantai, cat-cat minyak dan kuas-kuas patah mengotori lemari juga benda-benda lainnya. Para guru, staf dan beberapa orang yang ikut melakukan pencarian boleh saja merasa lega." Desi menatap Anan tiba-tiba.

"Tapi?" sahutnya.

"Keadaan ruangan tersebut agak gelap, satu-satunya penerangan saat itu hanya pantulan sinar lampu dari halaman sekolah. Waktu salah satu orang menekan saklar ruangan itu..." Desi kembali berhenti. "Gue nggak tau harus jelasinnya kayak apa." Ia bersandar pada kursinya dan melipat kedua tangannya di dada.

"Secara singkat," sergah Anan semakin tidak sabaran.

Desi mengangguk-anggukan kepalanya pelan, mungkin ia sedang mencari kata-kata yang pas untuk menjelaskan apa yang dilihat orang-orang itu di ruangan. "Mereka ngeliat murid tersebut dengan wajah dan baju yang berlumuran darah." Ia kembali menatap Anan dengan tatapan horor. "Ia udah nyongkel kedua matanya sampe lepas," lanjutnya membuat mereka meneguk saliva susah payah.

Anan melongo. Nisa dan Fira hampir saja memekik namun, mereka mencoba menahannya sebisa mungkin.

"Is she dead or-"

"No," ucap Desi. "Not yet. Dia masih bernapas dan hidup. Kedua tangannya pun masih memegang pisau pahat."

Anan mengerjap-ngerjapkan matanya. Pisau pahat?

"Semua orang yang ada di lokasi itu cuman bisa bergeming. Emang butuh bebarapa detik untuk sadar apa yang terjadi." Desi kembali menyahut ponselnya yang ada di meja, kali ini ia menekan tombol reject. "Sampai akhirnya murid itu dilarikan ke rumah sakit. Tapi, selang beberapa hari ia ditemuin tewas setelah loncat dari kamar rawatnya di lantai 12."

Ketiganya terdiam, saling menautkan tatapan ke meja yang ada dihadapannya. Anan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya ketika kau mencongkel kedua matamu dalam keadaan sadar.

"Jadi, gitu ceritanya," ucap Desi.

"Kenapa dia malah gentayangan di sekolah? Bukannya dia tewas di Rumah Sakit?" tanya Fira.

"Dia mencintai hobinya," sahut Anan. "Barangkali." Akhirnya Anan mengendikan kedua bahunya.

"Bisa jadi sih," sahut Nisa. "Dia kan gemar melukis, juga pengalaman pahitnya terjadi di sekolah ini. So, dia lebih memilih untuk tetap berada disini."

"Yok berhitung." Desi menyahut.

"Hm?" Anan mengangkat kedua alisnya. "Buat apa?"

"Mengetahui apa dia berada di sini dan ikut mendengarkan cerita gue atau nggak." Matanya melirik ke arah pintu kelas.

"Hey!" Fira memprotes. "Gue nggak mau." Sedangkan Anan dan Nisa saling berpandangan.

"Satu," ucap Anan.

"Dua," Nisa menimpali.

"Tiga," Desi meneruskan.

Ada jeda beberapa detik karena Fira masih enggan untuk melanjutkan. Anan menatapnya. "Empat," sahutnya sembari menutup mata.

"Lima!"

Lampu kelas tiba-tiba padam, diikuti gemuruh petir dan membuat lantai yang mereka pijak bergetar. Anan bisa mendengar Nisa dan Fira berteriak. Fira menutup kedua telinganya dan Nisa membungkus wajahnya dengan kedua tangan. Terdengar suara tawa terpecah dibalik tubuh Anan. Tawa dua orang lelaki yang sudah tidak asing bagi mereka, Bima dan Dika.

Seketika lampu kembali menyala. Disaat Nisa dan Fira telah mendapatkan kembali kesadarannya, ia melemparkan sumpah serapah dan kata-kata kotor lainnya pada mereka berdua.

Bersambung...

Anantasya || Indigo [ REVISI ]Where stories live. Discover now