26. MIMPI ITU NYATA?

1K 111 0
                                    

26. MIMPI ITU NYATA?

1 detik

3 detik

5 detik

Mereka tersadar dan suasana menjadi agak canggung. Anan tersenyum kaku, begitupun Nathan.

Beberapa waktu kemudian, hujan pun mulai reda. "Ayo pulang, hujannya udah mulai reda," ucap Nathan dan langsung diangguki oleh Anan.

Rintik-rintik gerimis masih mengguyur ibu kota Jakara, serta jalanan kini mengalami becek. Kedua tangan Anan melingkar dipinggang laki-laki itu.

Selang beberapa waktu, mereka pun tiba di depan kosan Anan. Gadis itu pun turun dari motor dan tersenyum dengan memperlihatkan deretan giginya.

Kening Nathan mengerut. "Kenapa?"

"Makasih," ucap Anan dengan tersenyum tipis.

"Iya, sama-sama," balas Nathan seraya meraih helm yang Anan berikan. "Oh iya, besok gue jemput yah," lanjutnya.

"Emang lo udah nggak sibuk?" Beberapa hari ini memang Nathan sedang sibuk dengan urusan perkuliahan. Laki-laki itu mengangguk cepat.

"Besok sih gue nggak sibuk, jadi gue bisa jemput lo nanti," balasnya dan Anan hanya beroh ria. "Yaudah, kalo gitu gue balik duluan yah." Setelah Nathan menjauh dari pandangannya, gadis itu pun masuk ke kosan.

¤¤¤

Anan terbangun dengan mendadak. Keringat membasahi kening walaupun kamarnya sebenarnya dingin. Mimpi yang barusan ia alami benar-benar membuat jantungnya berdebar. Mimpi yang sangat terasa nyata.
Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di samping tempat tidur. Menekan tombolnya beberapa kali, setelah itu menanti jawaban dari Ike.

Nada sambung sudah terdengar 4 kali dan belum diangkat. Matanya melirik pada jam dinding di atas TV, sudah pukul 08:42. Seharusnya Ike, sudah pulang kerja malam ini.

Sudah 6 kali nada sambung dan tetap tidak diangkat.
Apa ia sedang berada diatas motor?

Anan hampir saja menekan tombol merah di ponselnya ketika tiba-tiba terdengar suara Ike.

"Halo Nan, tumben nelfon?"

"Lo dimana?"

"Ini udah mau jalan pulang, soalnya pelanggan banyak banget tadi di resto... emang kenapa?"

"Tadi kan gue udah tidur, trus gue mimpi-" Ucapannya langsung dipotong oleh Ike.

"Udahlah... lo mah emang mimpi terus kan tiap tidur?"

"Tapi in-"

"Udahlah Nan, mimpi gak usah terlalu dipikirin. Dah, mending telponnya udah dulu yah, ini gue udah mau pulang."

Anan terdiam. "Yaudah, tapi kalo ada apa-apa langsung telpon gue yah. Gue takut lo kenapa-kenapa."

Terdengar kekehan kecil dari dalam telfon. "Iya, Nan. Udah ah, gue tutup yah telfonnya."

Telepon pun ditutup dan Anan duduk terdiam. Seperti mimpinya yang barusan terjadi. Ia mencoba mengingat kembali mimpinya. Ia melihat Ike tertabrak.

"Ike, tertabrak apa ya?" tanyanya pada diri sendiri.

Anan kembali berpikir keras mengingat-ingat lagi. Matanya terpejam, kembali merekontruksi mimpinya. Saat ini ia hanya ingat tubuh Ike tersambar sesuatu. Jantungnya kembali berdebar.

Lima menit berlalu. Biasanya butuh waktu 1 jam untuk gadis itu sampai di rumahnya. Tapi ia tak sabar menanti 55 menit lagi. Kembali ia menelon Ike. Kali ini tak diangkat hingga akhirnya nada sambungnya secara otomatis terputus. Ike mulai panik. Sekali lagi ia menelepon. Tetap tidak diangkat.

Ketakutannya semakin menjadi. Ia malah mengingat mimpinya. Di mimpi tersebut, Ike sedang berdiri disamping motor sebelum sesuatu yang berwarna kuning itu menghantam tubuhnya. Ike sedang berdiri disamping motor scopynya saat kecelakaan itu terjadi.

Tangannya gemetar memegang ponsel. Untuk ketiga kalinya ia menekan tombol memanggil.

1 kali nada sambung
2 kali nada sambung
3 kali nada sambung
4 kali nada sambung

"Halo Nan... kenapa? Gue lagi di motor nih," jawab Ike ditengah suara deru kendaraan disekitarnya.

"Lo baik-baik aja kan? Kok tadi gak angkat telepon gue?"

"Lah... kan gue lagi bawa motor. Ini pas lagi lampu merah aja baru bisa gue angkat."

"G-gue baru inget, di mimpi gue tadi lo ketabrak bus!"

"Alaaah, udahlah itu cuman bunga tidur Nan."

"Iya, tapi..."

"Udah lampu hijau nih, ya udah ya. Jangan nelpon lagi, ntar gue kasih tau kalo udah sampai rumah."

"Yaudah, tapi kabarin gue secepatnya yah."

Percakapan kembali terhenti. Anan merebahkan tubuhnya di kasur. Matanya terpejam, tapi pikirannya kembali sibuk mengingat setiap mimpinya tadi. Ike berdiri disamping motor, dan tak lama terjadilah peristiwa itu.

"Lagi pula ngapain coba tuh anak di situ?" monolog Anan dengan kesal.

Semakin ia mencoba mengingat, semakin ia kembali hanyut dalam mimpi buruknya sendiri. Di mimpi itu rasanya Ike memberhentikan motornya disamping sebuah toko.

"Jadi... itu toko?" Untuk kesekian kalinya ia kembali mengambil ponsel di atas nakas.

"Tapi, kalo Ike marah gimana? Telpon ajalah, ini kan demi keselamatan dia juga." Anan pun menekan tombol hijau di ponselnya.

Sedangkan Ike yang merasa getaran terus menerus di saku celananya, tanda ada telpon masuk. Tanpa perlu melihat layar ponsel, ia sudah menduga bahwa Anan lah yang saat ini meneleponnya. Sudah dari tadi ia menenangkan gadis itu agar tidak terlalu khawatir memikirkan mimpinya.

"Ada apa lagi sih, Nan?"

"Lo udah sampe di rumah? Ke, gue khawatir sam-"

"Nan, gue gimana nyampenya kalo lo telfon terus," balas Ike memotong ucapan Anan. Ia sudah merasa terganggu dengan ketakutan Anan.

"Yaudah deh iya. Tapi, lo jangan mampir ke toko yah."

"Lah... ngapain juga gue mampir ke toko? Dari tadi juga gue pengennya cepet sampe rumah. Badan gue pada pegel nih."

"Iya, tapi janji yah jangan ke toko trus telpon gue kalo udah sampe rumah."

"Iya-iya."

Sambungan terputus, Anan kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur. Semenit kemudian ia malah ketiduran dan mungkin tidak jadi membalas pesan Ike.

¤¤¤

Pagi pun tiba dan Anan berteriak keras...
Tiba-tiba saja ia terbangun dengan napas yang memburu. Keringat dingin kini membasahi keningnya. Matanya bergerak gelisah melirik sekitar, kini jam dinding menunjukkan pukul 05:54 pagi.

Ia mengambil ponselnya dan bernafas lega, pasalnya Ike sudah sampai di rumah dengan selamat. Segera gadis itu bangkit dari kasur dan melaksanakan salat subuh.

Tak menunggu waktu lama ia sudah selesai mandi dan salat subuh. Anan pun pergi ke dapur untuk membuat sarapan untuk dirinya. Nasi goreng. Entah kenapa ia sangat suka dengan makanan itu, dan rasanya ia pernah mempunyai warung makan yang besar sejak kecil. Padahal, gadis itu tinggal dari keluarga sederhana.

Tapi... itu hanya sekelebat ingatannya saja. Mungkin itu hanya imajinasi Anan, saking sukanya ia dengan nasi goreng. Setelah selesai membuat sarapan ia pun memakannya. Sampai akhirnya tujuh menit kemudian, terdengar klakson motor di depan rumah Anan. Sudah dipastikan itu adalah Nathan, gadis itu pun keluar dan menemui Nathan.

Keningnya mengerut. "Tumben make iket rambut?" tanya Nathan dan memang benar, tumben sekali gadis itu mengepang rambutnya.

"Emang kenapa? Jelek yah?" jawabnya dengan memegang rambut pirangnya itu.

"Nggak. Cantik malah."

Bersambung...

Anantasya || Indigo [ REVISI ]Where stories live. Discover now