51. CERITA DI SEKOLAH

641 67 0
                                    

51. CERITA DI SEKOLAH

Wanita paruh bayah itu hanya mengacungkan jempolnya pada Dika. "Siap, den! Ditunggu ya," sahutnya lalu mulai membuatkan pesanan mereka.

Beberapa menit kemudian, pesanan mereka pun datang. Keduanya langsung menyantap makanan masing-masing. Baru kali ini Anan makan berdua bersama laki-laki.

Sambil menyendok makanan ia terus berfikir. Ada angin apa Dika mengajaknya makan berdua? Tapi... kenapa tangannya tiba-tiba gatal?

Pandangan Anan tertuju pada lengannya yang kini terdapat bintik-bintik merah. Dengan cepat ia melirik kearah makanannya. Ah, sial! Kenapa ia sangat ceroboh? Iya kan alergi dengan kacang.

"Kenapa, Nan?" tanya Dika ketika melihat lengannya dipenuhi bintik-bintik merah.

"Kamu alergi kacang?" lanjutnya mulai panik dan Anan mengangguk mengiyakan.

"Ya ampun... aku minta maaf yah. Ayo aku antar ke UKS." Dika langsung menarik tangan Anan menuju UKS.

Rasanya Anan ingin pingsan saja. Biar Dika menggendongnya dua kali. Eh, pemikiran apa itu?

Genggaman tangan Dika seketika membuat gatal pada tangannya hilang. Untuk pertama kalinya ia digenggam sama laki-laki. Jadi gini rasanya?! Hangat, nyaman, dan debaran jantungnya kenapa jadi secepat ini? Masa gini doang ia serangan jantung? Kan nggak lucu woy!

"Sebentar yah, aku panggil dokter dulu," kata Dika lembut dan keluar untuk mencari dokter.

Seperginya Dika Anan terus saja menceramahi dirinya sendiri. Masa makan kacang aja alergi? Kan malu sama Dika!

"Perasaan pas awal ketemu Dika, nih jantung aman-aman aja deh. Ini kenapa jadi gini jantung gue?" tanyanya pada diri sendiri.

Akhirnya Dika pun datang bersama dokter yang sudah siap memeriksa Anan. Ujung-ujungnya Anan disuruh minum obat setelah dokter berjilbab itu memeriksanya. Rasa kantuk kini menghampiri Anan dan menguap beberapa kali.

"Istirahat aja, biar aku jagain," ujar Dika sebelum Anan benar-benar tidur.

***

"Loh? Masih disini?" Seketika lamunannya dibuyarkan oleh suara Desi. "Kenapa belum pulang? Hari ini 'kan bukan jadwa lo piket?"

"Emangnya kenapa?" sahut Anan. "Di luar masih hujan dan gue lupa bawa payung. Pulangnya numpang sama lo, gak masalah 'kan, ya? hehehe.." Gadis itu menyengir seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Yee.. gue kira apaan." Kemudian Desi merapikan meja dan kursi yang miring kesana-kemari karena ulah teman kelasnya tadi. "Tumbenan lupa bawa payung? Gak biasanya."

Melihat Desi yang sibuk sendiri membereskan meja dan kursi sendirian, membuatnya sedikit tidak nyaman. Walau memang hari ini bukan bagiannya untuk piket tapi tetap saja, duduk ditengah kelas sembari menontonnya sibuk bersih-bersih?

"Dimana Fira? Bukannya tadi ia keluar bareng lo?" Anan menyambar sapu yang bertengger di pojokan belakang dekat loker-loker penyimpanan. "Oh ya! Bisa juga."

Desi hanya mengangkat kedua bahunya, kini ia mulai mengelap jendela. "Gue nggak tau. Terakhir sih gue nyuruh mereka ngambil satu ember air buat bersihin kaca sama loker." Desi menatap Anan. "Tapi kok, bisa lama gini."

"Mungkin mereka ngambil air di toilet lantai satu?" kata Anan membuat Desi tertawa.

"Jangan konyol!"

"Ya mungkin aja kan. Atau nggak mereka keasyikan ngegosip dulu di toilet."

Kilatan petir menyentak mereka berdua, dan nyaris Anan membanting sapu yang sedang ia pegang. Beberapa detik kemudian barulah suara bergemuruh menggetarkan kaca jendela.

"Siapa yang gosip?" Nisa nyelonong masuk sambil menenteng ember kecil. Diikuti pula Fira yang mengekor dibelakang dan fokus dengan ponsel kesayangannya.

"Piket aja dulu. Urusan Arsan sih bisa nanti lagi, bener gak, Des?" Fira menjengit kaget ketika Anan merebut ponselnya. "Jangan lupa makan ya, beb. Langsung ke asrama!" Anan membaca chat Arsan dengan keras-keras. Sedangkan Desi dan Nisa terbahak-bahak, ia masih berusaha membaca sisanya ketika Fira meloncat-loncat berupaya untuk merebut ponselnya kembali.

"Nan, balikin, gak? Iseng banget sih!"

"Ssstt!" Tiba-tiba Nisa menyela. Akibatnya Fira berhasil meraih ponselnya dari tangan Anan. "Udah jam enam nih, balik yuk!" imbuhnya.

"Eh?" Anan dan Fira saling berpandangan. "Kenapa, Des?" tanyanya.

"Jangan bilang lo takut sama rumor hantu cewek itu." Desi yang sedang membersihkan loker tiba-tiba berhenti dan melempar lap berwarna kuning itu pada ember.

"Hantu?" Fira kini duduk di kursi barisan tengah, menghampiri Desi yang asik membetulkan tali sepatunya.

"Katanya sih, cewek berambut panjang itu suka keluyuran disepanjang koridor, trus masuk ke kelas-kelas, lho."

"Jangan konyol!" Anan mendengus sembari ikut bergabung dengan mereka. "Gue emang penikmat cerita horor, tapi sama sekali nggak ngebayangin kalau di sini punya rumor kayak gitu.

"Lo lupa? Bukannya kita pernah bahas ini dua hari yang lalu?" Kini mereka berempat sudah terduduk dan membuat lingkaran. Hal iseng yang sering mereka lakukan saat pulang sekolah adalah... menceritakan hal-hal yang berbau horor.

"Gue nggak ikut," jawabnya. "Lo lupa? Dua hari yang lalu gue nggak masuk sekolah karna nggak enak badan."

"Sakit maksud lo?" sergah Nisa. "Bukannya gue liat lo telat, gara-gara ngobrol bareng Dika di depan gerbang."

Anan refleks menendang kakinya yang menyilang dibawah meja. Sontak kedua temannya tertawa riuh mendengar pernyataan Desi yang baginya begitu tidak masuk akal.

"Waktu itu dia cuman nanyain keadaan gue. Kan alergi gue kambuh gara-gara makan kacang." Oke. Dika memang menunggunya di depan gerbang, dan dia hanya menanyakan tentang keadaan Anan.

"Iya-iya, gue percaya," ucap Nisa yang masih belum bisa menghilangkan seringai iblisnya. "Katanya, hantu di sini tuh cewek. Rambutnya panjang."

"Kuntilanak?" sela Desi.

Anan mengerutkan dahinya. "Agak ragu denger namanya disebut gitu aja."

Nisa terkekeh, berbeda dengan Fira yang hanya mengedikkan bahunya masa bodoh.

"Bukan." Desi mulai bercerita. "Mungkin juga bisa disebut kayak itu. Nggak tau sih, tapi yang jelas ia makhluk tak kasat mata berjenis wanita. Menurut rumor yang beredar, wanita itu selama hidupnya jadi korban bullying..."

"Yang depresi akhirnya gantung diri di sekolah. Arwahnya gentayangan buat balas dendam sama orang-orang yang pernah lakuin perundungan sama dia." Anan menyahut cerita Desi begitu saja. Baginya, cerita jenis seperti itu sudah terlalu banyak menjadi dongeng setiap sekolah. Kisah basi. Ia tahu itu.

"Anan!" Fira menyambar pundak Anan cukup keras, membuat gadis itu meringis dan menekuk wajahnya sebagai tanda protes.

"Sok tahu banget, sih!" Nisa ikut-ikutan menghakimi.

"Dia emang korban perundungan, Nan. Tapi... dia enggak bunuh diri kayak karangan cerita lo tadi. Well, tapi ya emang pada akhirnya dia mengakhiri hidupnya sendiri. Yaelah, dengerin dulu kenapa gue ngomong!"

"Fine!" Anan mengangkat kedua telapak tangannya diikuti dengan cengiran. Baik, ia akan menutup mulut hingga cerita mistis karangan Desi berakhir

Dia nggak pernah di bully. Lebih tepatnya dicap sebagai Freak gitu, orang aneh. Kenapa? Rumor yang tertangkap oleh kedua telinga gue, dia punya kemampuan bisa melihat dan menebak kematian seseorang secara langsung."

Bersambung...

Anantasya || Indigo [ REVISI ]Where stories live. Discover now