32. CUCU

984 96 0
                                    

32. TERBONGKAR

"Kak, aku mau makan," ucap anak perempuan itu yang tak lain adalah Anan.

"Yaudah, kalo gitu kamu tunggu di sini yah. Kakak mau beli makanan dulu buat kamu," ujar Aras seraya mengusap surai rambut adiknya.

Karna tak tega melihat Anan yang sudah lelah berjalan seharian mencari kosan, ia pun memutuskan untuk pergi sendiri. Pukul sembilan malam begini, semoga saja ada warung yang masih buka. Kalau tidak, ia dan Anan bisa mati kelaparan.

Dengan sangat ketakutan, Aras mulai berjalan di tengah-tengah kegelapan. Sebab, ponsel miliknya sudah rusak dan ia tidak memiliki senter atau pencahayaan. Nyalinya semakin menciut ketika merasa seseorang tengah mengikutinya.

Ia terus berjalan, melewati lampu jalanan yang secara tiba-tiba hidup dan menyala dengan sendirinya. Sampai akhirnya...

Laki-laki yang mungkin kata anak perempuan adalah cinta pertamanya, sedang menatapnya dengan tersenyum sinis. Sedari tadi ayahnya mengikutinya dengan cangkul yang ia bawa. Aras tau betul, pasti cangkul itu akan ia pakai untuk membunuhnya.

Ia terus berlari, namun usahanya gagal ketika cangkul itu mendarat pada lehernya. Darah mengalir deras tak membuat dirinya menyerah. Aras terus berlari dari kejaran ayahnya, sampai akhirnya ia tiba di kos-kosannya.

Kedua matanya membulat dengan napas yang tiba-tiba saja sesak. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah adiknya yang kini tergeletak dilantai. Entah Anan sudah meninggal atau belum, tetapi ia merasa syok saat itu.

Darah kental kini berceceran dilantai. Aras mendekat, dan tiba-tiba...

Jleb!

Ia meninggal saat seseorang memukulnya dengan kuat dan berkali-kali. Orang itu tertawa, tertawa jahat ketika melihat anak sulungnya ikut tergeletak dilantai dan berlumuran dengan darah.

Flashback off.

Anan yang mendengarnya tanpa sengaja air matanya jatuh membasahi pipi. "Memang aku belum inget sama semuanya, tapi aku bakal nolongin kamu... Kakak," ucapnya dengan nada pelan diakhir kata.

Aras tersenyum, rasanya ia ingin sekali memeluk Anan dan ingin bersamanya setiap saat. Tapi... dia harus pergi.

"Ayo, Nan. Lakuin tugas lo sekarang," titah Desi dan gadis itu mengagguk.

Kini ia harus menaburkan serbuk itu pada Aras, agar arwahnya bisa tenang dan juga tugas dari Kakek itu bisa berakhir.

***

Setelah selesai menabur dan mendoakan Aras, perlahan arwahnya pun menghilang dari pandangan mereka.

"Udah selesai. Pulang yuk, Nan," ujar Desi dan Anan mengangguk dengan pandangan yang melihat ke atas langit.

Mereka pun pulang dengan naik motor milik Desi. Cuaca sore itu lumayan panas, membuat keduanya tidak betah untuk berlama-lama di taman.

"Eh, Nan. Ada yang jual donat tuh, beli yuk," ajak Desi dengan motor yang sudah terhenti di pinggir jalan.

Anan menoleh, memang itu adalah donat kesukaanya ia pun mengiyakan. "Ayok!"

Sehabis mereka membeli kue serta minuman, keduanya pun melanjutkan untuk pulang.

Sesampainya di kosan Anan, Desi memilih untuk mampir sebentar. Menikmati kue dan minuman yang mereka beli tadi di pinggir jalan.

"Gimana? Enak nggak?" Anan mengangguk seraya mengunyah donat tersebut, lalu Desi pun ikut memakan donat itu.

Tiba-tiba sekelebat hitam muncul dari pandangan mereka yang tengah duduk di teras rumah. Sudah pasti Anan mengetahuinya, sebab dia adalah Kakek berjubah hitam.

"Kau sudah tahu bukan?" Pertanyaan itu pertama kali Kakek itu ucapkan.

Anan mengangguk cepat dengan posisi yang masih duduk bersama Desi. "Iya, Kek," jawabnya dan tak lupa mengunyah makanan yang ada dimulutnya.

"Bagus. Kalau begitu, saya akan memperkenalkan diri saya kepada kamu," ucap Kakek itu membuat Anan dan Desi saling menatap dengan wajah penuh heran.

"Kau bisa memanggilku dengan sebutan Kakek Pradipta. Semua kekuatan itu sudah lama saya miliki, bahkan akan saya berikan kepada cucu saya. Yaitu, kamu Anan," sambungnya dan sontak kedua gadis itu tersentak kaget.

"Cucu Kakek? S-saya?" tanyanya dengan menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, kau adalah cucuku yang hilang karna ulah ayahmu Dipta. Sampai-sampai saya juga harus kehilangan menantu dan cucuku Aras, ibu dan kakakmu," jelas Pradipta lagi-lagi Anan masih kurang percaya akan semua ini.

"B-berarti Kakek tau banyak dong, tentang ayah, ibu dan kakakku?" tanya Anan dengan gugup.

"Jelas, saya tahu semuanya. Dipta, ayahmu sudah meninggal di dalam penjara karna bunuh diri. Dia sudah sadar dan mengakui kesalahannya. Tapi, semuanya sudah terlambat. Dia sudah menghilangkan nyawa istri dan putri sulungnya sendiri." Anan dan Desi hanya menyimak ucapan demi ucapan yang Kakek itu lontarkan.

"T-tapi kenapa ayah sangat membenci keluarganya sendiri?" ujar Anan dan kakek itu siap menjawab pertanyaannya.

"Dulu... saya dan almarhum Nenekmu, menjodohkan Dipta dan ibumu Sari. Dipta marah dan menolak keras perjodohan itu. Awalnya dia mulai menerimanya, tetapi semenjak ia bertemu dengan wanita yang tak lain adalah selingkuhannya ia kembali berubah. Ia sering mabuk dan memakai obat-obat terlarang. Wanita itu juga sudah menghasut ayahmu untuk membunuh kalian. Karna, ia ingin memiliki ayahmu sepenuhnya."

Raut wajah Anan terlihat syok atas cerita dari Kakek itu. "Lalu, di mana mereka dimakamkan?" tanya Anan yang kini ditatap balik oleh Pradipta.

"Malam mereka tak jauh dari sini. Besok, besok saya akan mengantarmu ke sana. Agar kau bisa mendoakan mereka, dan mereka bisa tenang di alam yang berbeda dari kita," jawab Pradipta lalu sedetik kemudian ia menghilang membuat Desi terkejut. Sampai-sampai gadis itu terbatuk dengan donat yang ada di mulutnya.

Benar-benar ajaib, mana mungkin ada manusia yang bisa berlari secepat itu. "Nih, minum dulu." Anan menyerahkan segelas minuman kepada Desi.

***

"Gue pulang dulu yah, Nan," pamit Desi yang kini bersiap untuk pulang.

"Iya, hati-hati yah," jawab Anan kepada sahabatnya itu. "Oh iya, besok lo temenin gue yah ke makam keluarga gue," lanjutnya dan gadis itu mengangguk cepat.

"Oke."

Selang beberapa waktu, Anan pun kembali masuk ke kosannya setelah melihat Desi yang kini menjauh dari pandangannya.

Ia memutuskan untuk beres-beres, sebab pagi tadi ia tidak sempat membereskan rumahnya. Gadis itu mulai mencuci piring, menyapu dan pekerjaan rumah lainnya.

Ia sudah mulai terbiasa melakukan semuanya sendiri. Setelah beres-beres ia langsung memasak untuk makan malamnya nanti. Tidak perlu repot. Hanya dengan sebungkus mie instan dan satu buah telur, jadilah makan malam Anan.

Tiba-tiba deringan hp membuat fokus Anan yang tadinya menonton tv, langsung mengangkat telpon tersebut. "Halo," ucapnya tanpa melihat nama yang tercantum diponsel, karna saking serunya nonton tv.

"Halo, Nan. Lo di mana?" balas laki-laki yang ada disebrang sana.

Anan yang mengetahui suara itu, ia pun menjawab. "Di kosan, emang kenapa?"

"Besok ke kampus bareng yuk," ajaknya dan Anan segera menolak. Karna dia harus ke makam keluarganya bersama Desi dan juga Pradipta.

Bersambung...

Anantasya || Indigo [ REVISI ]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ