41. PAPAN OUJIA

762 77 0
                                    

41. PAPAN OUIJA

"Desi nyuruh dia buat nginep di sini." Mereka yang mendengarnya hanya beroh ria.

"Eh, liat nih yang gue bawa," ucap Roy sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas punggungnya.

"Wihh, apaan tuh?" tanya Agam dengan heboh.

"Lo tau kan, papan oujia? Nah ini papan oujianya. Gue tadi beli ini di toko antik deket rumah," jelasnya membuat pikiran Nathan terlintas untuk bermain di rumahnya.

"Eh, main yuk. Gue penasaran banget sama papan oujia ini," kata Nathan dengan semangat.

"Oke. Tapi, nggak seru lah kalo cuman berdua. Ajak Desi sama Anan aja, siapa tau mereka mau," ujar Agam lalu diangguki oleh Nathan. Segera ia memanggil kedua gadis itu, yang kini tengah fokus nonton drakor di dalam kamar.

"Kalian ada yang pengen ikut main papan oujia nggak?" tanyanya kepada mereka yang terlentang di atas kasur sambil menatap laptop.

Mendengar ucapan laki-laki itu, membuat mereka serempak menoleh kearah Nathan. "Ha? Emang kak Nathan punya?"

"Bukan punya gue, tapi punya Roy. Ayok, mereka udah nunggu di bawah," ajaknya lagi.

"Eh-eh... gimana ya, gue takut," cicit Anan. Ia memang tidak pernah bermain papan oujia, tetapi kata orang-orang permainan itu akan mendatangkan arwah yang menyeramkan. Apalagi... Anan juga indigo. Bisa-bisa ia tidak bisa tidur sepanjang malam karna diteror.

"Ayo lah Nan, main bentar doang ga usah takut. Kan ada gue," ucap Nathan sambil menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya.

"Dih, sok ganteng banget," gumam Desi. "Mau yah, Nan. Bentar aja kok, gue juga penasaran banget nih," sambungnya seraya memegang lengan Anan seperti merengek minta dibelikan permen.

Gadis itu menghembuskan napas kasar. "Emm... ya udah deh gue ikut," jawabnya sebelum Desi menyahut.

"Tapi... kalo mama sama papa pulang gimana, kak?" tanya Desi sembari bangkit dari kasur.

"Kata mereka, pulangnya bakal tengah malem. Jadi, bokap, nyokap nggak bakalan tau," jawab Nathan lalu mereka pun turun dan menemui Roy dan Agam.

Sejujurnya Anan sedikit ragu dengan permainan itu. Tapi, dirinya juga sudah terlanjur mengiyakan.

Semuanya pun duduk melingkar dan Roy mengeluarkan papan oija tersebut. "Des, lilinnya udah lo siapin?" tanya Nathan.

"Udah nih," jawabnya sambil memperlihatkan lilin ditangannya.

"Nyalain, Gam," suruh Roy pada Agam dan laki-laki itu mengangguk.

"Ada peraturan mainnya kan?" tanya Anan membuka suara.

"Ada, gue kubacain ya" sahut Nathan. Ia pun mulai membaca satu persatu peraturan permainan itu.

"Kita mulai nggak nih?" tanya Roy memastikan.

"Yokkk!!" jawab Desi, Nathan dan Agam, tetapi tidak dengan Anan. Ia hanya mengganggukkan kepala dengan kaku.

Papan ouija yang disebut sebagai media untuk berbicara dengan para makhluk astral itu memiliki ukiran huruf A-Z lalu angka 0-9 dan ada pula tulisan 'Ya', 'Tidak', 'Mungkin', 'Selamat Tinggal' serta gambar matahari dan bulan di masing masing sudut atasnya. Ada juga papan kecil berbentuk hati dengan lubang sebesar koin 500 rupiah dibagian sudutnya. Papan tersebut digunakan sebagai alat petunjuk kata kata yang diucapkan oleh arwah yang mau kami ajak komunikasi.

"Spirit, spirit of the coin... spirit, spirit of the coin... spirit, spirit of the coin... Please come out and play with us!" ucap mereka berlima dengan bersamaan sambil memutarkan papan kecil berbentuk hati tersebut searah dengan jarum jam menggunakan jari telunjuk.

Awalnya, papan kecil itu terasa ringan. Namun, lama kelamaan papan kecil itu terasa berat hingga telunjuk mereka sulit untuk digerakkan. Hening, semuanya saling bertatapan. Rasa penasaran dan rasa takut campur aduk menjadi satu, detik itu juga jantung Anan terasa ingin copot.

"A-apakah kamu arwah yang akan berkomunikasi dengan kami?" tanya Roy dengan gugup.

Papan itupun mengarah ke kata 'YA'. Membuat mereka tampak senang dengan hal itu.

"Apakah kamu wanita?" tanya Agam dan papan itu masih tetap ada di kata 'YA'.

"Siapa namamu?" Giliran Nathan yang bertanya. Papan kecil itu mulai berpindah ke huruf huruf alphabet lainnya, bergerak dari huruf satu ke huruf lain. Mereka pun mengejanya dengan sabar, hingga membentuk suatu kata.

Ah, ternyata namanya adalah Sita. "Sekarang lo yang tanya dong, Nan," perintah Desi yang diangguki oleh yang lainnya.

Anan mrnelan ludahnya susah payah, dan menghembuskan nafas sebelum bertanya. "Apakah kamu baik?" tanyanya. Alhasil papan itu bergerak pada kata 'MUNGKIN', membuat mereka semua saling tatap sedikit khawatir.

Tapi, mereka mencoba meyakinkan satu sama lain untuk tetap tenang dan berfikir positif.

Mereka mulai bertanya lagi, hingga tak terasa permainannya sudah dimainkan sejam lebih. Semuanya memutuskan untuk menyudahi permainan itu. Mereka mengarahkan papan kecil kearah tulisan 'Selamat Tinggal' dan roh itu menjawab 'TIDAK'.

Semua terkejut dan saling pandang. "Gimana nih?" tanya Roy yang mulai ketakutan.

"Kita main sekali lagi aja, trus kita bilang selamat tinggal, gimana?" usul Nathan.

"Yaudah deh," jawab Roy disertai anggukan oleh yang lainnya.

Mereka bermain lagi sekitar 15 menit dan tibalah mengarahkan papan kecil itu kearah tulisan 'Selamat Tinggal'. Akan tetapi, roh itu kembali menjawab 'TIDAK', membuat semuanya mulai ketakutan.

Anan dan Desi hendak berdiri tapi Roy langsung menarik mereka agar duduk kembali. "Jangan lari, nanti setannya marah," titah Roy.

"Udahlah Roy, nih setan udah mulai nggak waras, kita tinggalin aja," ucap Nathan, yang diangguki ketiganya.

"Kalian lupa sama peraturannya? Kita harus selesaiin ini" ucap Roy mengingatkan.

"Ya... tapi mau sampe kapan? Tuh hantu ga bakal pergi," kata Desi dengan jantungnya yang berdetuk sangat kencang.

Anan, Desi, Nathan dan Agam sudah berdiri dan mulai berlari. Saat akan sampai pintu, pintu yang awalnya terbuka tiba tiba tertutup rapat dengan suara keras. Mereka semua terkejut dan mulai ketakutan, membuat Desi memeluk lengan Anan kuat-kuat.

Nathan dan Agam yang tadinya berada di dekat pintu kembali ke tempat tadi. "Duh, gimana nihh?" tanya Anan dengan ketakutan. Tidak ada yang menjawab, semuanya ketakutan menatap sekitar ruang tamu itu.

"Hihihihi..." Suara melengking itu mengalihkan pandangan mereka semua, berbalik secara perlahan ke arah suara.

Anan sangat terkejut begitupun dengan yang lainnya, ada sesosok perempuan dengan baju merah dengan rambut yang menutupi wajahnya. Desi semakin mengeratkan pelukannya kepada Anan. Sedangkan Nathan dan Agam langsung melompat memeluk lengan Roy.

"Baca doa yuk, takut nih gue," cicit Roy dengan nada ketakutan. Dasar laki-laki itu! Dia yang ngajak, tapi dia sendiri yang paling takut diantara mereka.

Mereka semua masih tetap tak bergeming sedikitpun karna shock. "Kalian sendiri yang memanggilku, tapi kalian sendiri yang ketakutan. Hihihi..." lagi-lagi hantu itu berbicara, dan tiba-tiba menghilang. Membuat semua kembali terkejut.

Sejenak mereka bernafas lega, karna berpikir bahwa hantu itu sudah pergi. Kenyataan...

"Hihihi..."

Bersambung...

Anantasya || Indigo [ REVISI ]Where stories live. Discover now