39. KITA TEMAN

763 78 0
                                    

39. KITA TEMAN

"Nggak tau, mungkin karna cuaca kali, makanya hari ini sepi." Memang cuaca sore itu sedikit mendung, dan menunjukkan sebentar lagi akan ada hujan turun.

Detik kemudian mereka langsung kembali ke tempat masing-masing, sebab pemilik Cafe datang dengan raut wajah yang sulit diartikan. "Semuanya harap kumpul!" titah perempuan itu bernama Laras.

Dengan cepat semua pegawai termasuk Anan segera berkumpul di depan bosnya itu. "Ada apa, kak?" tanya salah satu dari mereka.

Di Cafe tersebut semua pegawai memanggil Laras dengan sebutan Kak, bukan bos atau Bu.

"Jadi begini... berhubung sebentar lagi kita akan memasuki bulan suci ramadhan. Cafe ini akan ditutup sampai lebaran tiba, dan hari ini saya akan memberi kalian gaji selama seminggu bekerja," jelasnya lalu mengeluarkan beberapa amplop dari saku kemeja bajunya.

Semua pegawai terlihat senang, akhirnya mereka bisa libur kerja dan pulkam selama bulan puasa. Beda halnya dengan Anan, gadis itu tampak biasa saja. Lagi pula dia akan pulkam kemana? Dirinya sudah tidak punya siapa-siapa lagi.

"Baiklah, ini gajimu. Sampai ketemu bulan depan yah," ucap Laras kepada Anan. Gadis itu tersenyum kaku seraya menerima amplop yang diberikan pada Laras.

"Makasih, kak."

Setelah pembagian gaji selesai, Cafe pun ditutup dan Anan segara pulang ke kosannya. Ia memilih berjalan kaki, karna belum tentu uangnya akan cukup untuk kehidupannya ke depan. Dia tidak kerja, dan otomatis tidak ada pemasukan.

Karna sebenar lagi akan memasuki bulan ramadhan, ia singgah di Alfamart untuk membeli bahan buka puasa nanti.

***

Setibanya di kosan, gadis itu langsung menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Dirinya sangat lelah berjalan kaki, apalagi sambil membawa belanjaan yang lumayan berat. Kelopak matanya terasa berat, hingga akhirnya...

"Hey, I want to be your friend. (Hai, aku ingin menjadi temanmu.)" Anan menoleh dan mendapati sosok anak perempuan itu yang kini tersenyum padanya.

"Yes, but can I ask you a question? (Boleh, tapi apakah aku boleh bertanya denganmu?)" Anak perempuan itu mengangguk tanda ia setuju.

"Why are you following me? (Mengapa kau mengikutiku?)" tanya Anan.

"I just want to be friends with you. Is it wrong? (Aku hanya ingin berteman denganmu. Apakah salah?)" Terlihat raut wajah Emely memelas, mendengar pertanyaan dari Anan. Mungkinkah Anan akan mengusirnya?

"It's fine if you want to be friends with me. As long as you don't bother me. (Tidak apa jika kau ingin berteman denganku. Asalkan, kau tidak menggangguku.)"

Raut wajah anak itu terlihat senang. "Is it true? Wow, I feel good now. But... I don't know your name yet. (Benarkah? Wah, aku merasa senang sekarang. Tapi... aku belum tau namamu.)"

"My name is Anantasya, and I already know your name. You're Emily, right? (Namaku Anantasya, dan aku sudah tau namamu. Kau Emely bukan?)" Emely lagi-lagi mengagguk.

"Nice to meet you, A-Anansyasya. (Senang berkenalan denganmu, A-Anansyasya.)" Anan tertawa mendengar Emely yang salah menyebutkan namanya.

"Oh, it's so hard. I'd better call you Tasya. (Ah, susah sekali. Lebih baik, aku memanggilmu Tasya saja.)" Anan hanya mengangguk melihat wajah lucu Emely. Lalu detik kemudian ia terbangun dari mimpinya.

Setelah itu Anan bangkit dan segera mengambil air wudhu, karna sudah saatnya ia salat maghrib.

***

Kring kring kring

Deringan hpnya berbunyi dari atas nakas, ia segera mengangkat telfon tersebut. "Iya, halo Des?" ucapnya seraya melepaskan mukena yang ia kenakan.

"Nan, lo dimana?" tanya Desi dari sebrang sana.

"Yah, di rumah lah. Emang kenapa?"

"Lo bisa ke rumah gue nggak? Soalnya nyokap, bokap sama kak Nathan lagi pergi. Tadi sih mereka ngajak gue, tapi guenya yang nggak mau. Mau yah."

"Lah, emang kenapa lo nggak ikut? Tumben... biasanya kalo keluar malem-malem gini, kan lo nomor satunya," canda Anan membuat Desi berdecak sebal.

"Gue pengen nemenin lo ngobrol sama hantu anak kecil itu. Kan lo tau sendiri, kalo gue itu orangnya kepo banget soal beginian," kata Desi.

"Allaah... giliran ketemu wujudnya entar lo malah lari."

"Eh, enak aja. Nggak yah, gue nggak bakal lari kok. Paling cuman ngumpet di belakang lo," jawabnya dan tertawa kecil.

"Hm, iya deh iya. Gue udah ngobrol kok sama Emely tadi."

"Ih, Nan! Kok lo nggak ngajak gue sih, kan gue pengen tau juga."

"Salah sendiri tadi nggak masuk kemimpi gue." Desi yang mendengarnya hanya menghembuskan napas kasar. Ia pikir Anan dan Emely bertemu secara langsung, ternyata hanya dimimpi.

"Dimimpi toh! Terus, dia ngomong apa sama lo?" tanya Desi. Saat itu Anan pun langsung menceritakannya pada Desi.

"Banyaklah. Saking banyaknya gue lupa," kata Anan sambil menyengir membuat Desi mendengus kesal.

"Terus, lo nggak nanya soal ibunya dimana?" tanyanya dari dalam sambungan telepon.

"Enggak. Tadi pas gue mau nanya, gue udah keburu bangun. Oh iya, jadi... gue ke rumah lo nih sekarang?"

"Iyalah, soalnya gue sendiri di rumah. Pembantu juga udah pada pulang semua, jadi lo harus nemenin gue di sini," ujar Desi sedikit memaksa.

"Iya-iya. Yaudah, gue siap-siap dulu yah. Belum mandi juga nih gue," kata Anan mencium badannya sendiri.

"Eh-eh! Jangan mandi jam segini."

"Lah? Emang kenapa?"

"Nggak tau kenapa. Udah, pokoknya nggak boleh."

"Iya deh iya. Kalo gitu gue ganti baju aja. Bayyy."

Bersambung...

Anantasya || Indigo [ REVISI ]Where stories live. Discover now