36. Murid Istimewa

241 50 227
                                    


Happy reading 💙

.

Angin berdesir meraba kulitnya— ia merinding. Dengan sisa kekuatan yang ia punya, dititik terlemah ia saat ini, terus berjalan, meski terkadang jatuh, kembali jalan, tersandar pada tembok putih tepat di langkah pertamanya masuk— ke tempat "pengasingannya" dahulu.

Suara ramai penghuni gedung ini— tak pernah ia rindukan. Langsung menerpa telinga menjadi melodi pertama yang menyadarkannya— bahwa ia tak sendirian.

Ambruk, pada dinginnya lantai, menangkup wajah, ditetes terakhir ia masih sadar akan hidupnya, meski sangat sakit isakan kering itu menusuk dada, otak bahkan hatinya— benar-benar tak berdaya.

Tak indahkan dua wanita berseragam hijau menghampiri— mendirikannya lagi, membawa dalam dekapan, menuntunnya, kembali masuk— ia pernah bersumpah— takan injakan kakinya lagi di sini.
Nyatanya bohong!

Tempat ini satu-satunya yang bisa ia datangi saat ia rasa akan mati— jiwa raga— sangat lelah.

Ia ingin pulang. Tapi tak tahu, di mana rumahnya yang sebenarnya.

.

Satu balutan— lengkungan kecil terangkat.

Gadis itu sangat telaten memutar kain kasa, menutup ruam merah, pada punggung tangan sang lelaki. Ari hanya terdiam duduk di atas sofa, sesekali mainkan pucuk rambut Kiara, yang duduk bersimpuh di bawah.

"Lo selalu kaya gini?" tanya Kiara. Diakhir balutannya, menutup P3K, meletakkannya, pada sisi duduk Ari.

"Maksudnya?"

"Lukai diri lo sendiri."

Kiara angkat tangan Ari yang tertutup kasa, namun perlahan diturunkan, oleh tangan lain yang justru menangkupnya dalam genggaman.

Iya.

Ingin kata itu terucap langsung, apa daya hanya bisa dalam batin.

Kiara menyisingkan lengan panjang Ari, menemukan satu garis coklat yang sudah memudar, tapi ia tahu, tak akan bisa hilang. Mungkin sakitnya iya. Bekasnya, akan selalu mengingatkan.

Karena dirinya, juga punya beberapa.

Ia sadar tiap kali lelaki itu mengenakan lengan pendek. Tangan yang berkali-kali membawanya dalam dekapan, mana mungkin ia tak melihat. Tapi baru berani menyinggungnya sekarang— mungkin waktu yang tepat.

"Gue dapet itu sama Desi... dulu."

Bohong! Kenapa gue gak bisa jujur

"Jatuh dari sepeda? Dasar bocah!"

hadiah dari hari kematian Inka.

"Lo gak perlu jadi bocah buat jatuh dari sepeda."

Kiara terkekeh mendengar jawaban Ari. Sedikit menenangkannya, setidaknya— tentang ia dan Racquel. Atau justru, masalah alarm palsu itu.

Perlahan lengkungannya luntur, kembali ke dalam mode awal, saat ia dudukan lelaki itu menerima "pengobatan".

Kiara lepas genggaman Ari, kini tangannya yang menggenggam, mengusap pelan "dia" yang terbalut dalam kasa.

Kiara's SecretWhere stories live. Discover now