44. Titik Didih

246 56 175
                                    


Happy reading 💙

.

"Hah.."

Mata gadis itu terbuka, mengerjap beberapa kali, adaptasikan cahaya yang sangat terang pada retinanya. Kedua tangan meremas erat ujung cardigan yang ia kenakan.

"Bagaimana sekarang?"

Suara itu, sangat pelan, menyentuh bahu dari sisi kanan, Kiara mendongak. "Dokter Nadia.."

Yang berjas putih tersenyum simpul. Mengangguk, letakan pena dan sebuah papan kecil yang tadi ia pegang, pada meja di belakang kursinya. Lebih condong ke arah brankar, berbisik lembut, tepat di samping telinga Kiara. Dada gadis itu naik turun.

"Tenang... tarik napas.. pelan-pelan.."

Kiara mengikuti, sedikit terpejam.

"Buang.. hembusin pelan.. dengan semua emosi Kiara, semuanya..."

Bayangan yang terputar, suara gas motor, suara pukulan kencang balok kayu, dan bayangan buram, tentang ceceran darah di depan matanya.

"Gak bisa! Ari gimana?! Dokter... Ari gimana?!"

Nadia menghela napas, berdiri dari duduknya, mulai bawa bahu sang 'pasien' kembali merebah pada bantal. Meski penolakan keras ia terima.

"Ari gimana?!"

"Kiara.. tenang.. oke.. kita masih dalam terapi, masih panjang.. tenang.."

"Tapi Ari.."

"Saya akan kabarkan kondisi Ari nanti, kalau kita sudah selesai! Kamu tidak bisa seperti ini Kia!"

"Dok.."

"Sstt.." Satu dekapan dari Nadia— sang psikiater, satu-satunya orang yang dapat tenangkan Kiara. Bersama enam bulan lalu, sudah seperti keluarga sendiri.

"Lepasin semuanya.. semua ingatan yang ganggu Kiara.. biarin semua keluar satu persatu.. Kiara harus bisa berpikir jernih.. oke..."

Bak tersihir, Kiara semakin terpejam dalam pelukan. Meski tak dapat bohong, bulir hangat masih menetes dari matanya. Nadia menarik napas lega. Pandangi sang 'adik', yang kembali tenang dalam emosinya.

Perlahan mendekat ke telinga, berbisik, "Selanjutnya.. apa yang terjadi? Setelah Kiara sampai ke rumah sakit, bersama Abian.. apa, yang terjadi selanjutnya?"

Hening.

Nadia mundur, ambil kembali pena dan catatannya, sabar, menunggu 'dia', yang masih sangat tenang terpejam.

"Operasi..." lirih Kiara. Perlu lebih dekat, untuk Nadia mendengar jelas.

"Iya?"

"...Operasi darurat..."

.

"Gak mungkin! Gak mungkin, gak mungkin, gak mungkin... Gak mungkin.."

Kiara's SecretWhere stories live. Discover now