Destiny (END)

452 54 171
                                    

Karena ini terakhir, jadi bacanya pelan-pelan aja🙌

Happy reading 💙

.

Lima belas hari telah berlalu. Sidang pertama telah dilaksanakan kemarin lusa, dengan pengakuan sederet dosa sang psikopat tanpa penyangkalan. Untuk sidang lanjutan, Hakim Agung putuskan akan menundanya sampai kesadaran salah satu korban yang juga saksi kunci sepenuhnya membuka mata.

Kiara bosan, sudah hampir dua jam ia berbaring di sisi Ari. Memeluk dada lelaki itu, dengan posisi miring tepat berbagi bantal untuk berdua. Ia meniup kecil rambut di kening Ari seraya tersenyum.

"Ri.. gue laper. Gue makan dulu, ya." Entah untuk siapa kalimat itu sebenarnya. Meski tak ada jawaban, tapi Kiara yakin, Ari mendengarkan dalam tidurnya.

Kiara lantas turun dari ranjang, mengambil tas selempang yang ia letakan di sofa, ada Abian yang tengah tertidur di sana, dengan buku panduan berbahasa Inggris tebal ia peluk. Kiara kembali tersenyum.

Ia mencengkram pinggiran ranjang Ari, dekatkan wajahnya pada pipi hangat lelaki itu, menatapnya lekat. Lalu sebuah kecupan hangat Kiara daratkan pada pipi kiri Ari, naik pada satu matanya, lalu kening, meski sedikit tertutup rambut.

"Bangun ya... miss you so much," bisiknya. Sebelum beranjak keluar ruangan, sejenak Kiara berhenti. Pandangi monitor, terlihat semuanya normal, mulai dari tekanan darah, denyut jantung dan lainnya, tapi... sudahlah, Kiara tak ingin berpikiran negatif pada Tuhan.

.

Hari ke 20. Libur panjang akhir tahun serta akhir semester tiba. Di bulan Desember yang dingin ini, cuaca benar-benar tak bersahabat.

Mulai dari sang angin terbangkan dedaunan kering jalanan sampai ke tengah aspal. Sang petir juga tak mau kalah, saling bersahutan dari ujung ke ujung. Beruntung, sang air mau sedikit memberi ruang, hanya setitik dari kaumnya yang ditugaskan.

Tapi bagi Kiara, lebih baik hujan mengguyur deras tanpa angin dan petir, dari pada seperti sekarang ini, sangat tidak nyaman. Terlebih awan hitam tak kunjung menarik diri.

Kiara mengganti mawar putih layu di meja dekat ranjang Ari, dengan setangkai mawar merah yang tadi ia beli di jalan. Sekilas ia cium aroma alami bunga itu, lengkap dengan duri yang membuatnya bergidik. Ia juga mengganti airnya tadi, di wastafel.

Dan seperti biasa, Kiara akan naik dan berbaring di sisi Ari. Sambil menunggu sang waktu mengerucut sampai jam besuk selesai, ia akan dibangunkan Bu Najwa untuk pulang.

"Ayah bakal ajak sekeluarga liburan sampe awal tahun. Lama ya..." bisik Kiara. Dan suara bip bip dari monitor yang menjadi jawabannya.

"Maaf, gak bisa nemenin lo liat kembang api..." tambahnya semakin berbisik. Bukan karena prosedur rumah sakit, melainkan suara Kiara yang tercekat saliva, sangat serak ia keluarkan.

"Sebelum pergi... gue janji bakal ke sini lagi, buat pamitan sama lo." Kiara semakin eratkan pelukannya. Wajahnya ia tenggelamkan pada ceruk leher Ari. Tak peduli, bahu yang dibalut baju pasien itu basah karena air matanya. Justru semakin deras turun, saat telinganya bisa menangkap detakan jantung Ari sangat nyata.

Lamat Kiara rasa, sebuah kain ikut membalut tubuhnya sampai pinggang. Ia menengok sesaat, pelakunya, Bu Najwa, memberi Kiara selimut lalu mengusap pucuk kepala gadis itu lembut, sebelum bergantian pada pucuk kepala sang putra semata wayang.

"Bangun ya, Ri..."

.

Hari ke 23, Kiara sudah siap dengan sweater ungunya, menenteng tas kecil meletakkannya pada nakas, ia pandangi sang mawar yang sudah berganti merah muda. Seseorang pasti sudah menggantinya.

Kiara's SecretWhere stories live. Discover now