49. Waktu tak berhianat

245 51 137
                                    


Happy reading 💙

.

Pemuda itu mondar-mandir di depan pintu bening yang enggan ia buka sedari tiba, satu jam yang lalu.

Sekilas, ia melepas penutup hoodinya, duduk pada kursi di depan ruangan. Lalu berdiri lagi, kembali bolak-balik di tempat, memasang penutup kepala hoodie, mengetukkan jemari di dagunya. Seperti itu siklusnya.

Sampai seorang pria paruh baya yang sedari tadi memperhatikan di belokan lorong mulai curiga. Akhirnya mendekat.

"Maaf.." Pria itu menepuk pelan pundak sang pemuda. Pemuda itu menoleh. "Ada yang bisa saya bantu? Kamu teman anak saya?"

"Em.. itu.. saya.." Ari terbata. Menggaruk tengkuk yang tak gatal. Sejujurnya, berada di tempat yang dipenuhi orang-orang 'aneh' sepanjang koridor adalah hal terakhir yang ia bayangkan di hidupnya. Tapi sekarang Ari di sini. Di sebuah ruang perawatan salah satu rumah sakit jiwa.

"Kamu teman anak saya? Saya tak pernah melihat kamu sebelumnya," Ayuda mengulangi pertanyaannya. Ari masih menggaruk leher cengengesan.

Ayuda mulai berpikir, apa pemuda di depannya juga 'pasien'?

Ayuda lantas memindai Ari dari bawah ke atas, lalu sebaliknya. Dengan tatapan menyipit lebih dekat. Ari mundur.

"Kenapa, om?"

"Saya yang tanya. Kamu kenapa?"

"Saya?"

Ayuda terkekeh. Pikirannya terlalu jauh beranggapan pemuda polos di depannya adalah pasien rumah sakit ini.

"Iya. Kamu. Di depan kamar anak saya. Sedang apa?"

"Saya Ari om," ujar Ari. Dengan sigap menyalami tangan Ayuda, meski kernyitan halus di kening pria itu.

Ayuda tersenyum kikuk. "Oke.. lalu?" tanyanya.

Lagi-lagi yang bernama Ari hanya menyengir. Ayuda lantas membawa Ari pada kursi, duduk, bersandar tembok, menghadap pintu bening yang di dalamnya terdapat gadis 17 tahun sangat lemah.

Jeda panjang. Kedua lelaki berbeda generasi itu hanya terpaku pada diam. Ayuda melirik arlojinya sekilas. Lalu menoleh pada Ari, pemuda itu juga sama. Mulutnya membuka, tapi ia katup kan kembali, dan pandangi lagi pintu nanar.

"Persingkat saja. Saya akan mencoba mengerti." Ayuda tersenyum. Meski tak menatap Ari. Pemuda itu tahu, pria di sampingnya sangat berwibawa.

"Maaf sebelumnya om. Gak seharusnya saya datang, saat kondisi anak om seperti ini." Ari menautkan jemari kanannya pada sela-sela jemari kiri. Menggigit bibir sesekali.

Ia ragu. "Tapi sudah satu bulan ini. Saya memikirkan," lanjut Ari. Ayuda hanya mengangguk.

"Apa yang ingin kamu tahu?"

"Tentang insiden kebakaran... apa—"

Nampak raut terkejut dari Ayuda. Ari menjeda. Apa dirinya terlalu to the point?

Kiara's SecretWhere stories live. Discover now