39. Dongeng Kesempurnaan

266 55 214
                                    

Happy reading 💙

.

Kringgg...

Helaan napas terdengar saling bersahutan, di kelas dengan 24 siswa itu. Yang dinantikan, dari tiga jam pertama pelajaran— istirahat.

Kiara tutup buku catatannya, lantas bergegas keluar bahkan menepis beberapa anak yang sangat pelan berjalan di pintu. Tak biasanya, biasanya— Kiara selalu menjadi yang terakhir keluar kelas.

"Kia mau ke mana?!" teriak Yuna. Masih duduk di bangkunya.

Kia mendengar, tak ia hiraukan. Tujuannya satu, ruang BK. Ia pasti sudah gila, bahkan semakin gila saat ini. Semua pikiran buruknya tak henti berputar sedari fisika, bahkan sampai materi pendinginan bahasa asing.

Apapun itu, Kia takan maafkan dirinya sendiri, jika hal buruk terjadi pada dua orang yang beberapa saat lalu terkena "pemanggilan".

Sepanjang jalan, gadis itu tak henti menggigit kuku jarinya, abaikan notifikasi ponsel yang terus berdering. Menyusuri koridor, sesekali bertabrakan dengan bahu anak yang melintas, ia hanya "sorry", lalu lanjut berjalan.

Gedung bagian belakang. Tempat ruang BK berada. Tinggal satu belokan lagi, Kiara sampai tepat pada ruang "neraka" itu.

Dan berhenti. Menarik napas dalam-dalam, benarkan kerah seragamnya, berjalan yakin ke arah BK, dan...

"KIA!"

"Astaga!"

... terperanjat sendiri. Tersandar pada dinding.

"Lo ngagetin gue anjir!" umpatnya. Kedua tangan Kia masih berada di dada, netralkan napas yang memburu.

"Lo lebih ngagetin," sahut lelaki itu— Ari.

"Lo ngapain di sini?" tanya Kiara. Mendekat ke tempat Ari berdiri, tepat di depan pintu coklat ruang BK.

"Sama kaya lo. Maybe?"

Kiara mendengus kecil, berkacak pinggang hendak membuka suara lagi sebelum putaran kenop pintu mengalihkan perhatian.

Keduanya mematung kompak.

"Apa yang diributkan di sini?"

Suara yang familiar. Sangat sopan mengetuk telinga Kiara, masuk seolah tamu yang tak diundang.

Perlahan Kiara mendongak, menatap Ari yang sudah berbalik ke arah pintu, ia pun mengikuti. Tatapan pertama, dengan sang Ketua Yayasan. Sangat intens.

Kia ingat pertemuan terakhir mereka kala itu bersama Firly— di tepi lapangan basket. Entah mengapa, yang ini terlihat lebih tajam, padahal tak ada bedanya dengan tempo lalu.

Mungkin karena ia sekarang tahu, fakta—dalang manipulasi nilai—yang berdiri di hadapannya. Aura pemimpin yang dipancarkan seolah lenyap, bahkan untuk sekedar kata "respect", sudah tak Kia indahkan lagi.

"Saya punya urusan dengan Guru Konseling," ucap Ari. Tenang. Kiara sedikit mengernyit, apalagi kiranya yang cowok itu pikirkan— batinnya.

Kiara's SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang