XIV. Aproapé

5.4K 642 21
                                    

Happy reading!
~•~

Tak lebih dari 10 menit mereka semua tumbang dan memilih berlari dari sana. Mereka tak menyangka padahal luarnya bebelac ternyata dalamnya extra joss. Gane bergegas menolong Arthur dan membawanya ke klinik terdekat untuk diobati, untung saja tidak ada luka yang serius.

"Makasih sekali lagi lo udah nolong gue, gue utang nyawa sama lo."

"Tidak masalah, lain kali hati-hati."

Arthur tidak bisa menahan senyumnya yang keluar, hatinya terasa menghangat karena ada yang peduli dengannya. Sejak kematian mendiang ibunya ia sudah tidak merasakan hal itu, bahkan papanya saja tidak peduli dan malah lebih mementingkan status dan derajat juga menuntutnya ini itu tanpa memberikan perhatian serta kasih sayang sebagai seorang ayah pada umunya. Kenakalannya selama ini adalah kedok belaka agar mendapat perhatian sang papa dan yang dia dapat hanya pukulan atau tamparan. Arthur memperhatikan remaja yang lima tahun lebih muda darinya. Dengan muka datar tapi masih bisa sangat menggemaskan.

"Kenapa Kak Arthur melihatku seperti itu?" tanya Gane akhirnya yang merasa tak nyaman dengan tatapan Arthur.

"Nggak apa-apa, lo mau ikut makan nggak?" ujar Arthur karena ia belum makan siang. Gane mengangguk karena ia juga merasa lapar sekarang.

"Yaudah ayo makan, lo mau makan apa?"

"Apa saja."

Arthur membawa Gane ke sebuah warung bubur ayam yang kebetulan ada di dekat klinik tadi dan langsung memesan untuk mereka berdua. Memang agak aneh karena biasanya bubur dimakan waktu sarapan. Gane melihat ke sekitar, tempat ini terlihat sangat sederhana. Aroma kuah kaldu  tersebar di warung ini. Jujur saja Gane merasa sedikit asing dengan aroma ini.

"Ini pesanannya mas."

Dua mangkok bubur tiba dihadapan mereka. Arthur mengaduk bubur itu dan langsung melahapnya karena sudah lapar. Sedangkan Gane malah menatap bubur di depannya bagai benda aneh.

Arthur yang sadar jika Gane belum memakan makanannya pun heran.

"Kenapa nggak dimakan?" tanya Arthur akhirnya.

"Tidak." Gane menyendok bubur itu, ternyata rasanya enak sekali. Tekstur bubur yang lembut dengan kuah kaldu yang gurih serta topping di atasnya dengan tekstur berbeda membuatnya menjadi kombinasi yang luar biasa. Gane sedikit menyesal karena baru sekarang dapat merasakan makanan ini.

Tak sampai 10 menit bubur mereka habis. Gane berdiri berniat untuk membayar tanpa mempedulikan Arthur yang melarangnya.

"Berapa semuanya Pak?" tanya Gane.

"30.000, dek."

Gane mengulurkan sebuah kartu berwarna hitam, membuat bapak penjual bubur itu kebingungan.

"Nggak ada uang cash aja, dek?"

Arthur menepuk dahinya melihat hal itu. Bisa-bisanya membayar bubur dengan black card, pasti anak ini tidak pernah membayar sendiri. Arthur menyodorkan uang kertas berwarna biru pada si bapak penjual yang langsung diterima baik.

"Kembaliannya ambil aja, Pak." Bapak tersebut mengucap terimakasih dan mereka berdua pergi dari sana.

"Kenapa tadi bayar pake kartu?"

"Kata daddy, bisa beli apapun dengan kartu itu," jawab Gane kalem. Arthur mengelus dadanya sabar, oke dia harus sabar menghadapi bocil di depannya.

"Kalau di warung-warung nggak ada alat yang buat gesek, jadi harus pake uang tunai, ngerti?"

"Iya."

Mereka berdua berjalan bersisian di pinggir jalan. Tadinya Arthur akan mengantar Prince pulang karena katanya bocah di depannya ini tidak tahu arah jalan pulang, tapi Prince menolak karena belum mau pulang.

SWITCH PRINCE [END]Where stories live. Discover now