XXXIII. Progresivă

2.5K 338 2
                                    

Happy reading!
~•~

Malam hari setelah makan malam. Gane kembali ke kamarnya, ia mengunci pintu agar tak ada yang bisa masuk secara tiba-tiba kemari. Setelah dirasa aman, dia mengambil buku yang ditemukannya dari laci tempat tidur.

Karena tidak ingin berpikir keras, Gane membuka gembok itu dengan kekuatannya dan berhasil.

Ternyata buku ini adalah buku sketsa. Gambaran yang Prince buat sangat bagus, tapi matanya terpaku di halaman terakhir.

Disana ada tetesan darah dan sebuah tulisan bahasa asing.

Je suis seul, personne ne se soucie de moienfermé dans un espace sombre et vide, il n'y a que le silence.  je veux mourir!

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Prince? Kenapa menulis hal seperti ini? Hal apa yang membuatnya sampai ingin mati?"

Memang tak ada jalan lain selain melihat rekaman CCTV. Ia harus semangat, agar semua bisa terpecahkan. Remaja itu mulai membuka lagi laptopnya.

Gane menatap jam dinding di kamarnya. Jam menunjukkan pukul 12 malam, waktu cepat sekali berlalu. Besok dia masih sekolah, jadi dia memetuskan untuk melanjutkannya besok.

***

"Sendirian aja nih?"

Gane menoleh, ternyata Arthur yang datang. Tadi saat jam pelajaran ke-6 gurunya tidak datang, jadilah dia menghabiskan waktunya di perpustakaan.

"Lo lagi ngeretas apa?" tanya Arthur. Gane cepat-cepat menutup laptopnya, sial dia sampai lupa.

"Tenang aja nggak bakal gue bocor ke orang lain. Jadi udah berhasil belum?"

"Apa?"

"Ngeretasnya."

"Siapa yang meretas? Aku tidak melakukan apa-apa, Bang Arthur ada-ada saja."

"Nggak usah bohong, mau gue bantuin?" tawar Arthur. Gane menatap Arthur tak yakin. Kalaupun bisa, apa rahasianya bisa terjaga oleh kakak kelasnya ini?

Melihat Prince yang sepertinya ragu-ragu dengannya membuat Arthur berdecak. Ia tak akan seember itu dan segabut itu untuk menyebarkan informasi yang sepertinya sangat privasi ini.

"Serius, kalau perlu gue sumpah deh kalau lo nggak percaya."

"Ya sudah, aku terima bantuannya. Janji ya ucapan Bang Arthur bisa dijaga?"

"Iya."

"Tapi sepertinya jangan disini bang, apa ada tempat lain yang jarang dikunjungi orang di sekolah ini?"

"Ada, ayo ikut gue."

Gane melirik Bara dan Leo yang mengawasinya di depan pintu perpustakaan. Arthur yang peka pun, mengajak Prince untuk keluar dari perpustakaan lewat pintu lain.

"Disini gue jamin rahasia kita aman, nggak ada CCTV."

"Terimakasih bang."

"Hah? Jadi lo mau ngeretas CCTV mansion lo sendiri?" tanya Arthur terkejut. Sedangkan Gane menatap jengah Arthur, sudah dia duga reaksi Arthur akan seperti ini maka dari itu tadi dia ragu.

"Oke, oke, gue ngerti tapi apa alasannya. Eh– kalau lo nggak mau cerita nggak papa sih, privasi juga."

"Aku hanya ingin tahu keseharianku sebelum amnesia, karena sepertinya mereka menyembunyikan sesuatu dariku."

Arthur terdiam sejenak, kemudian mengambil laptop Prince dan mengotak-atiknya sebentar. Jangan salah, dia begini-begini adalah ahlinya, urusan seperti ini sangat mudah baginya, bagai membalikkan telapak tangan.

"Aku sudah mencoba mempelajari dasar-dasarnya, tapi masih belum bisa menembus karena keamanannya sangat tinggi," ucap Gane memperhatikan Arthur yang terlihat serius memasukkan kode-kode yang sangat rumit.

Lima belas menit kemudian.

"Sekarang lo bebas ngeliat rekamannya pakai laptop ini, ini bisa bertahan beberapa hari tergantung mereka sadar atau nggak. Tapi sejauh ini sih jarang ada yang sadar kalau gue udah masuk ke sistem mereka, secara kan gue hacker handal–"

"Iya-iya aku percaya, terimakasih. Bang Arthur hebat! Aku merasa sangat terbantu. Berkat abang akhirnya aku bisa lihat rekaman CCTV ini." Gane tersenyum sumringah menatap Arthur. Arthur ikut tertular senyum itu, dia mengacak rambut Prince. Sudah lama juga dia tak mendengar seseorang memuji dirinya setulus ini.

"Iya, anggap aja ini balas budi gue karena lo udah beberapa kali nolongin gue."

Baru saja Gane akan masuk ke kelasnya, sebuah suara menginterupsinya.

"Darimana?" tanya Zero. Ia daritadi mencari Prince kemana-mana karena mendapat kabar bahwa remaja yang berdiri di depannya ini hilang dari kedua bodyguard-nya yang mungkin sampai sekarang tengah kelimpungan mencari Prince.

"Aku tadi mm- dari rooftop kak, mendinginkan otak," jawab Gane karena tak bisa memberikan alasan yang lebih logis selain itu.

"Yang benar?" tanya Zero memastikan.

"Iya," jawab Gane, ia hanya berharap semoga saja Zero percaya. Karena yang ia tahu Zero adalah orang yang sangat peka dengan keadaan sekaligus orang yang paling peka diantara mereka berempat.

Zero tahu jika Prince berbohong karena tadi dia sudah mencari ke rooftop, tapi tak ada tanda-tanda keberadaannya. Karena tak ingin memperpanjang masalah, Zero merangkul Prince masuk ke kelas. Mencoba berpikir positif, bahwa mungkin Prince hanya ingin bebas tanpa pengawasan untuk beberapa saat menghirup udara bebas. Sebenarnya Zero juga kasihan melihat Prince harus seperti ini, tapi apa yang bisa dia lakukan? Posisinya disini hanya sebagai sahabat.

"Daddy dapat laporan kalau kamu lepas dari pengawalan Bara dan Leo," ucap Aiden, matanya memandang lurus ke mata sang anak bungsu.

Gane yang mendapat pertanyaan itu terdiam, entah kenapa dia sedang malas berbicara. Tadi sepulang sekolah, setelah berganti baju, dia disuruh untuk pergi ke ruang kerja ayahnya, dan disinilah ia sekarang.

Sedangkan Aiden yang tak mendapat jawaban, mendengus kasar.

"Prince ingat peraturannya jika kamu ingin bebas. Apa kamu lupa minggu ini kamu sudah pingsan dua kali, seharusnya daddy sudah tidak memperbolehkanmu sekolah lagi."

"Aku baik-baik saja Dad."

"Ini peringatan terakhir, jika ada masalah lagi, ucapkan selamat tinggal pada dunia luar."

Aiden melihat Prince yang hanya menunduk jadi tak tega.

"Kami hanya ingin kamu baik-baik saja Prince karena kami sangat menyayangimu."

Aiden memeluk erat sang anak.

Aiden memeluk erat sang anak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


15/02/23

SWITCH PRINCE [END]Where stories live. Discover now