XXI. Dimineaţă

3.9K 492 11
                                    

Happy reading!
~•~

"Siapa yang mengajarkanmu bersikap tidak sopan seperti itu, Alvonzo?"

"Kau, siapa lagi."

Alvonzo duduk di sofa yang ada di kamar itu. Ia memindai Gane dari atas sampai bawah. Tadi saat Alvonzo baru saja pulang dari kantor, ia mendengar para maid yang bergosip kalau ayahnya membawa seorang bocah lucu ke mansion ini. Karena rasa penasarannya akhirnya ia memutuskan untuk mencari tahu. Alvonzo bertanya pada Ashley dan disinilah ia berakhir.

"Anak siapa yang kau pungut?" tanya Alvonzo masih menatap Gane dengan tatapan menilai. Gane yang diperhatikan seperti itu pun kesal lalu memalingkan wajahnya.

"Dia anak Aiden."

Alvonzo mengangguk paham, jadi ini rencana Rowen.

"Bukankah kau ingin membunuhnya?"

"Rencanaku berubah, lihat saja nanti, anak ini terlalu menarik untuk langsung dibunuh. Lihat wajahnya bahkan tidak menunjukkan wajah ketakutan padahal kita tengah membicarakan rencana pembunuhannya," ucap Rowen.

"Benar apa yang kau bilang dad."

Alvonzo mendekati Gane, pemuda itu memegang bahu Gane. Gane menatap Alvonzo tanpa ekspresi.

"Sangat menarik dan ..."

"Menggemaskan, benar apa yang dibilang para maid itu."

Alvonzo baru merasakan perasaan ini, entah mengapa melihat ekspresi anak itu hatinya melembut. Sebagai anak tunggal tentu saja dia tak bisa merasakan memiliki saudara. Sedari kecil dia di didik untuk bisa menjadi penerus ayahnya. Kata kejam dan sadis selalu tersemat padanya.

"Aduh!" Gane meringis kala Alvonzo menarik pipinya. Ia mencoba melepaskan tangan Alvonzo, pipinya bukan adonan roti yang bisa sesuka hati dimainkan seperti ini.

"Jangan seperti itu, kasihan dia."

"Aku mendukung rencanamu," ucap Alvonzo yang tak dapat dimengerti oleh Gane.

***

"Permisi Tuan Muda, waktunya sarapan," ujar Ashley yang baru saja masuk ke kamar ini.

Sudah semalaman Gane terperangkap disini. Sebenarnya dia sudah merencanakan ingin kabur, tapi tubuhnya mengkhianati karena sejak insiden di kamar mandi itu ia merasa tubuhnya jadi lemah. Entahlah mungkin itu efek kekuatannya yang muncul lagi secara tiba-tiba. Ia juga sudah mencoba merenungi hal ini dan ini masih tak bisa diterima oleh akal sehatnya. Apa mungkin ini pertanda jika ia masih bisa kembali ke dunia asalnya?

"Aku tidak ingin sarapan," kata Gane dengan gestur tangan mengusir Ashley.

Rowen masuk ke kamar itu, ia melihat bawahan setianya masih berdiri dengan piring di tangannya. Asisten pribadinya itu ternyata cocok juga menjadi baby sitter.

"Kenapa? Oh kau tak mau makan rupanya. Makan sekarang atau kau yang dimakan."

Gane mengernyit, memangnya siapa yang akan memakannya? Atau jangan-jangan Rowen dan Ashley ini kanibal?

"Bukan kita yang akan memakanmu, tapi Bunny," ucap Rowen seakan tahu apa yang dipikirkan Gane. Tidak, Rowen tak bisa membaca pikiran tapi ia hanya menebak karena raut wajah Gane yang sangat mudah ditebak.

"Bunny? Kelinci? Sejak kapan kelinci berubah jadi kanibal?"

"Kemari." Rowen menarik Gane mendekat ke sebuah jendela cukup besar yang ada di kamar itu. Tangan Gane memang sudah tak diborgol lagi sejak semalam, Rowen yang melepasnya.

"Dia Bunny," kata Rowen dengan smirknya. Tentu saja Gane terkejut melihat binatang yang bernama Bunny itu ternyata seekor Harimau putih. Memang Pak Tua di sebelahnya ini sudah gila. Untung saja tadi malam dia tak nekat kabur lewat jendela ini, karena jika ia turun maka dia akan langsung masuk ke dalam kandang Bunny. Untung saja Gane tak memiliki riwayat penyakit jantung. Gane menyerah dan memakan sarapannya. Sebelumnya ia memandang curiga pada Rowen, siapa tahu kan makanan ini sudah dicampuri racun.

"Bagus, anak pintar," ujar Rowen saat melihat piring Gane yang sudah kosong. Tadinya baru tiga suapan, anak itu sudah meletakkan sendoknya tapi dia mengancamnya jadilah Gane menghabiskan makanan itu.

"Menyebalkan sekali kau, Pak Tua."

"Hahaha itu memang sifatku, bagaimana kalau sekarang kita bermain?"

Gane menaikkan sebelah alisnya sedikit tertarik.

"Bermain apa? Jangan bilang kau akan mengajakku bermain petak umpet."

"Tentu saja tidak, kita akan bermain bersama Bunny."

"Kau bilang–"

"Bunny sudah jinak, yah walau terkadang ia akan ganas juga."

"Hm menarik."

Gane dan Rowen sampai di lantai bawah. Mereka turun melewati banyak penjaga, Gane mendengus ia memang seperti tawanan, ralat tapi memang dia adalah tawanan sekarang.

Rowen masuk terlebih dahulu ke kandang Bunny. Kandang ini cukup besar dan tadi mereka juga melewati kandang beberapa hewan buas lainnya bahkan ada onta juga tadi. Mirip sekali dengan kebun binatang.

"Cepat masuklah," kata Rowen yang melihat Gane masih berdiri di depan pintu kandang Bunny. Gane melangkahkan kakinya ragu. Ia ditarik mendekat ke arah Bunny yang kini juga menatap dirinya.

"Pegang dan rasakan bulunya yang halus."

Karena gemas Rowen menarik tangan Gane dan menyentuhkannya ke tubuh Bunny.

"Wow, tak buruk." Gane bisa merasakan betapa halusnya buku Bunny.

Bunny yang sepertinya kesenangan di elus mendekatkan kepalanya ke arah Gane. Sontak saja Gane terkejut, lalu ia kembali biasa saja.

"Sepertinya dia menyukaimu" ujar Rowen.

"Kalau dia menyukai manusia, maka sebentar lagi manusia itu akan disantapnya," bisik Rowen membuat Gane dengan cepat menjauh dari Bunny dan berlari keluar kandang.

"Hahaha bisa-bisanya dia tertipu." Rowen terkekeh, ia merasa dapat hiburan gratis.

Gane memutuskan berkeliling disini, siapa tahu dia bisa menemukan jalan keluar. Atau setidaknya mengenali medan perangnya kali ini. Ia berjalan santai sampai matanya menangkap pemandangan sebuah taman yang indah, disana juga terdapat banyak bunga yang ditanam. Gane mendudukkan dirinya di sebuah kursi. Dia memejamkan matanya, menghirup udara segar pagi hari.

"Rupanya disini kau," ucap Alvonzo yang entah muncul darimana. Bahkan Gane tak merasa ada langkah kaki yang mendekat. Alvonzo duduk di sebelah Gane.

"Indah kan taman ini?" tanya Alvonzo, Gane mengangguk tanpa ragu.

"Taman ini dibuat karena mommy yang menyukai tanaman hijau dan bunga-bungaan sama seperti sosoknya yang lemah lembut."

"Memangnya dia kemana?"

"Dia sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu."

"Aku turut berduka," ucap Gane. Gane bisa melihat kerinduan di mata itu, walaupun ekspresi Alvonzo yang tetap saja datar.

Soal mendengar suara batin orang lain, sejak pagi tadi Gane sudah tak bisa mendengarnya lagi. Entahlah, dia juga tak ingin terlalu pusing memikirkannya.

"Tak apa, lagipula itu sudah lama sekali."

Mereka berdua terdiam, sama-sama menikmati udara pagi yang menenangkan.

"Bagaimana kalau kau tinggal disini seterusnya?" tanya Alvonzo tiba-tiba.

"Bagaimana kalau kau tinggal disini seterusnya?" tanya Alvonzo tiba-tiba

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

Jangan lupa vomment ✨

See ya!

06/10/22

SWITCH PRINCE [END]Where stories live. Discover now