Part 2. First Love

42 6 0
                                    

“Maaf, tapi kami harus cepat pulang.” Langsung kujeda perkataannya dan menarik Nazil pergi sebelum pria itu semakin percaya diri dan mengetahui perasaanku dulu.

Ya, di masa SMA aku menyukainya karena ia selalu mendukung dan memberiku semangat untuk berjuang dalam sastra.

Sedari awal memang kami dipertemukan dalam ekstrakurikuler, di mana kami sering bekerja sama untuk menerbitkan majalah dengan tim yang lainnya.

Selanjutnya, karena sama-sama terpilih dalam olimpiade walau ia di bidang matematika dan aku kimia, hal itu tak menghilangkan perhatiaannya.

Mengingat itu membuatku tersenyum malu dan menutup wajah, membuat orang yang kupikirkan sekarang tersenyum memaklumi.

Aku tahu bukan aku cintanya saat ini, hanya teman tak membuatku berpikir lebih tentang menjalin hubungan serius. Melihatku salah tingkah Nazil hanya mengelus kepala dengan lembut.

“Kamu berpikir untuk menikah—“

“Tidak, sampai sekarang aku belum menemukan seseorang yang kucintai,” selaku mengingat lagi saat SMA dulu aku mengatakan belum menyukai seseorang, walau ia malah heran dan mengatakan aku belum sadar saja jika mencintai seseorang.

Tentu saja kusambung dengan gelengan berulang dan mata memelas menatapnya. Lagi-lagi tingkahku mengundang tawa kecilnya.

“Kalau begitu Nora fokus ke karier dulu,” ucapnya tak jauh beda dari yang dulu.

“Selama kamu memberi semangat dan dukungan aku akan mengejar target minggu ini,” balasku sembari mengeratkan genggamanku padanya, memang sedari tadi kami berjalan ke mobil sembari bergandengan tangan.

Kali ini sudah sampai dan ia mempersilakanku masuk. Saat kami berada di dalam mobil ia sejenak terpaku menatapku dengan senyuman yang sulit diartikan dan tatapan sendu.

“Nora, jaga kesehatan karena kesehatan itu sangat penting dari segalanya. Jaga kesehatan harus diprioritaskan,” ucapnya yang melunturkan senyum di bibirku.

Kenangan dulu kembali terulang di mana aku mengalami sakit kepala yang parah sampai mimisan semasa berjuang di kantor redaksi di masa-masa magang, di mana aku harus menyelesaikan target.

Kali ini aku tak ingin mengingatnya, hanya bisa tersenyum dan mengangguk, lalu mengubah arah pembicaraan. Dengan berkata, “Selama aku bahagia, aku akan sehat. Akan kuprioritaskan diriku sampai nantinya ada seseorang yang harus kuprioritaskan.”

Terakhir ia menggenggam erat tanganku sebelum melepaskannya, lalu meraih tengkukku guna mendekat dan mencium kepala yang berselimut hijab tipis itu.

Bolehkah aku berharap, ia kelak akan melakukan ini sebagai suamiku? Empat tahun sudah berlalu sejak kami berkomitmen untuk berjuang bersama demi kesuksesan.

Sekarang sudah sampai pada momen itu, bisakah aku berharap ada hubungan di antara kami? Mengingat kalimat yang ia ucapkan terakhir kali.

“Aku tidak ingin menjalin hubungan sebelum waktunya.”

“Terima kasih.” Hanya itu yang berani kulontarkan, Nazil hanya tersenyum dan mengangguk. Kemudian ia melajukan mobil untuk mengantarku pulang.

Namun, tidak semudah itu ia mengantarku ke rumah karena merasa masih sore Nazil mengajak pergi ke perpustakaan kota. Aneh, sejak kapan ia mulai membaca?

Karena tak ingin  menolak aku menurut sampai di depan perpustakaan dengan bangunan klasik bergaya Eropa. Menuruni mobil sampai keluar mengikuti langkah kakinya, tak peduli tentang pakaian kami yang formal setelah pergi ke pernikahan.

Walau ini pertama kalinya pergi bersama Nazil ke perpustakaan aku tak mempertanyakan keanehan tersebut dan malah antusias masuk mengikuti langkah kakinya yang panjang.

Cinta Dari Masa LaluOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz