Part 10. Terima Kasih, Abi

12 3 0
                                    

"Mbak Nora, saya juga pengin jadi seperti, Mbak. Jadi, wanita karier yang pinter, salihah, dan banyak disegani. Gimana sih, Mbak?"

"Iya, Mbak Nora sendiri katanya kuliah sambil kerja gimana sih jalaninya?"

Aku tersenyum mendapat pertanyaan dari para santri kelas dua belas yang antusias. Sebenarnya hari ini di kelas ini Gus Rayhan yang mengisi, tetapi ia malah memberi kesempatan kepadaku untuk menyampaikan materi ke kelas tersebut.

Sudah satu hari berlalu sejak perbincanganku dengannya di gazebo. Semalam dan tadi pagi hanya Nur yang pergi ke kamar mengantarkan makanan yang disiapkan Gus Rayhan khusus untukku agar cepat sembuh. Serta membangunkanku untuk salat. Ia tetap perhatian setelah apa yang kulakukan.

Kembali fokus kepada kelas dua belas, walaupun masih di atas kursi roda aku tersenyum.

"Semua bisa menjadi saya, alhamdulilah atas izin Allah saya bisa kuliah dan kerja sesuai cita-cita saya, bakat dan minat saya. Atas kehendak-Nya saya bahagia dengan keduanya, saya pun kini masih kuliah online di jurusan kimia setelah sastra. Saya percaya dengan usaha dan doa, Allah akan mengabulkan semua keinginan saya. Begitu pun kalian," ucapku.

"Subhanallah, saya kagum sama, Mbak Nora yang bisa membagi waktu dan multitalenta."

"Subhanallah," ujar semua santri pada akhirnya.

"Tidak, semua orang bisa seperti itu selama ada kemauan kalian pun begitu. Prinsip saya seperti ini, jangan sampai orang meremehkan saya, jika orang lain bisa saya juga bisa. Saya tidak menuntut diri saya untuk kuliah, mencari pendidikan tinggi. Tapi, banggakan diri sendiri dengan apa yang saya capai. Jangan berhenti bermimpi tinggi ...."

Aku menjeda ucapanku saat dari jauh terlihat Gus Rayhan melihatku sembari tersenyum. Ia terlihat dari kelas seberang, tersenyum ke arahku dengan netra berbinar, lama berdiri di sana hingga kuhentikan kegiatan.

"Baiklah, sampai di sini materi personal branding kali ini kita lanjutkan di pertemuan selanjutnya." Kuakhiri kelas hari ini, melihat aku memutar kursi roda Nur langsung bergegas mendorongnya.

"Saya antar, Mbak Nora ke dalem," ucapnya.

"Saya ingin berlatih berjalan, sepertinya lukanya sudah kering," kataku sembari mendongak--menatap Nur yang sudah mendorong kursi rodaku keluar kelas.

"Baik, Mbak, jadi mau diantar ke mana?" tanyanya.

"Ke taman di seberang pesantren boleh? Aku bosan, Nur," keluhku sambil menoleh, terlihat wajah Nur yang gelisah.

"Tapi, Mbak, santri dilarang keluar pondok." Seperti yang aku inginkan, aku ingin lepas dari Nur beberapa saat.

"Kalau begitu saya bisa sendiri, Nur, kamu kembali aja," ucapku.

Nur dengan cepat menggeleng, "Tapi, Gus Rayhan bilang saya harus menemani dan menjaga Mbak Nora dengan baik."

"Berhenti, kenapa begitu?" tanyaku. Nur pun menghentikan kursi roda di halaman depan pondok menuju gerbang. Tempat sejuk dengan pohon di sekeliling serta pos keamanan di depan. Aku mengerutkan kening menatap Nur selama menunggu jawaban.

"Mbak Nora itu beruntung, lho, Gus Rayhan perhatian banget dan khawatir sama Mbak. Sampai Gus minta saya selalu mengantarkan makanan, mengajari ngaji, mengingatkan salat, menjaga, dan mengantar Mbak. Kayaknya Gus Rayhan sayang banget sama Mbak Nora," ungkap Nur yang membuatku tersipu malu.

"Tapi, kenapa saya?"

"Mbak itu tipe idaman Gus Rayhan, lho. Pinter, wanita karier, taat agama. Malah saya dengar dari Gus Rayhan kalau Mbak Nora itu beda dari perempuan lainnya. Dia bilang begini, "Bukannya terbawa perasaan dan menikmati perhatian serta sanjungan dari saya. Ning Nora menjaga hatinya agar tidak jatuh cinta pada saya. Seperti wanita muslimah yang taat agama, dia juga menjaga pandangan, bicara, dan jarak dari saya. Hanya satu yang saya sesalkan, bukan saya pria yang ada di hatinya. Beruntung pria yang dicintainya" begitu tulusnya Gus Rayhan, Mbak."

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now