Part 21. Deep Talk

10 0 0
                                    

"You are the cause of my euphoria ...." Selagi sibuk melantunkan lagu berjudul Euphoria milik Jeon Jungkook, sambil berjalan ke pekarangan belakang aku terhenti saat melihat Gus Rayhan.

Laki-laki itu tengah memberi makan kambing sembari berkeluh kesah.

"Ah, sulit Ning bagi saya. Dua hari lagi kamu sudah kembali ke kota, mau menyanggupi lamaran Nazil. Tetap saja saya kalah dengan laki-laki yang sudah empat tahun bersamamu," ungkapnya sembari menatap sendu kambing putih di depannya.

"Saya juga bingung Ning, mau mengingatkan kembali tentang kebersamaan kita dulu dan janjimu. Tapi, kamu malah stres setiap mengingat itu." Ia menghela napas.

Aku yang mendengarnya dari belakang menahan tawa.

"Ah, menjadi bagian dari masa lalu yang buruk meski kenangan kita bahagia tetap saja. Nila setitik rusak susu sebelanga. Saya ingin mengingatkan tentang kebersamaan kita dulu juga membawa luka masa lalu Ning kembali. Tapi, saya tidak rela Ning bersama orang lain dan melupakan saya."

Aku terperanjat melihat Gus Rayhan memukulkan rumput panjang di tangannya ke kambing.

"Tujuh belas tahun saya menunggu, saat bertemu hanya jadi masa lalumu yang terlupakan, Ning. Kamu tahu rasanya? Berat! Apalagi Ning sekarang makin cantik, cerdas, masih salihah. Sulit, sungguh sulit, Ning."

Aku menarik napas dalam-dalam melihat Gus Rayhan memeluk kambing putih itu. Menempelkan kepalanya ke kepala kambing itu untuk menyalurkan kesedihan.

"Gus! Saya bukan kambing!" seruku yang langsung mendekatinya.

"Ning? Sejak kapan?" tanyanya yang gelagapan. Ia bingung dan langsung berdiri.

Hanya bisa mendengkus, "Gus kalau ada masalah bisa bicara saya. Jangan bicara sama kambing, saya cemburu!" bentakku yang mengakhirinya dengan mengerucutkan bibir.

"Abisnya Ning sibuk bantu santri buat keripik, itu lengannya ditutup, Ning," tegur Gus Rayhan yang menunduk sembari menunjuk tanganku.

Hampir saja aku lupa dengan lengan baju yang kunaikkan karena membantu mengupas singkong dan lainnya untuk dijual para santri.

"Iya udah, ayo bicara berdua sambil duduk di sana, Gus," pintaku.

"Nanti menimbulkan kesalahpahaman, Ning," ucap Gus Rayhan mengingatkan.

"Ya ayo masuk ke dalem atuh, Kang, aya-aya wae mau mojok. Di dalem tinggal Ummi sama Aletta tuh," ungkapku yang langsung melangkah masuk ke dalem dari pintu belakang.

Kami pun sampai di teras rumah. Ummi berada di ujung kanan sambil memangku Aletta. Sedangkan aku dan Gus Rayhan di ujung kiri duduk agar berjauhan di satu kursi panjang. Jarak kami dan Ummi sekitar lima meter.

"Gus ngobrol apa sama Doktor Abel?" tanyaku memulai perbincangan.

"Kalau trauma Ning kambuh lagi diminta seperti kemarin itu mengatasinya. Doktornya juga cerita tentang kematian ayahnya--kakek Ning," ungkap Gus Rayhan yang kuangguki.

"Dari penyelidikan kami menduga kematian kakek dikarenakan mantan Bunda. Dalangnya sudah ditemukan, yaitu laki-laki pilihan kakek sendiri yang pernah dijodohkan sama bunda."

Lagi-lagi kilas balik itu muncul, kali ini aku langsung menggelengkan kepala untuk menolaknya.

"Ehm, Ning akan kembali dua hari lagi? Sudah dapat jawaban untuk lamaran Nazil?" tanyanya yang membuatku tersenyum simpul.

"Tidak, Gus, saya akan di sini sepuluh hari lagi dari sekarang. Tentang Nazil akan saya temui jika dia menjemput." Terlihat jelas di raut wajahnya ada kesedihan. Aku pun tak langsung menunjukkan apa aku akan menerima atau menolak Nazil.

"Ning, saya bingung mau mengatakan apa karena saya tidak punya hak. Tapi, jika memang Ning bisa, tolong minta petunjuk dari Allah dalam menentukan jawaban yang tepat. Kalau Ning mau, kita sama-sama salat istikharah, ya? Minta petunjuk sama Allah tentang jodoh masing-masing," pintanya sembari menatapku sendu.

Justru aku ingin tertawa melihat kepolosannya. Namun, hany bisa tersenyum, lalu berkata, "Pasti, Gus. Jika dalam meminta petunjuk saya melihat Nazil akan ada keraguan dalam hati saya nantinya. Karena dalam berumah tangga bukan komitmen atau seberapa lama saya mengenalnya, tapi seberapa besar cinta dan ketulusan yang ada di dalamnya. Sejak awal saya sudah menentukan siapa yang akan saya jadikan calon imam, pembimbing dan pelindung saya. Jika itu sosok dari masa lalu akan tetap saya terima karena cinta dan janji saya masih tertanam di hati meski dihapus dari ingatan."

"Ning, artinya Ning menolak lamaran Nazil nantinya? Ning akan menerima khitbah saya?"

"Insyaallah, saya tunggu di rumah, Gus," balasku sembari menunduk dan tersenyum.

"Ah, hati saya mau meledak rasanya," ungkap Gus Rayhan sembari memegangi dadanya.

Aku tersenyum melihatnya, "Hati di perut, Gus, kalau itu paru-paru," cetusku.

"Ning mah udah bikin saya jantungan, udah galau dari kemarin juga," keluh Gus Rayhan.

"Iya, iya, udah nunggu tujuh belas tahun juga, kan?" tanyaku.

"Iya, pakai keyakinan sama keraguan. Persentase bisa ketemu Ning itu ibarat nyari jarum di tengah jerami, sulit. Berita kecelakaan dan kematian Ning bikin saya risau belasan tahun. Hati saya mengatakan kalau Ning masih hidup. Tujuh belas tahun menunggu ... sebentar, Ning dengerin saya ngomong sama kambing sejak kapan?" tanyanya yang penuh antusias mengungkapkan keluh kesah sampai tangannya ikut bergerak.

"Sejak awal, saya denger semuanya, Gus." Gelak tawa pun pecah, tak bisa kubendung. Terlebih saat melihat raut wajah Gus Rayhan yang cengo.

"Astagfirullah, Ning," ucapnya sembari menutup wajah, malu setengah mati pasti. "Rusak citra saya di depan calon istri," imbuhnya sembari memukul dahi. Tingkah lakunya semakin membuatku tergelak sampai mencuri perhatian Ummi yang ada di seberang sana.

"Udah mirip keluarga bahagia kalian, sampai begitu ngobrolnya," cetus Ummi yang sudah berhasil menidurkan Aletta.

"Iya, berduaan aja nih bikin yang lain iri."

"Sore-sore ini, Gus."

Begitulah celotehan dua santri yang lewat di depan kami, tetapi kami abaikan.

"Udah Ning jangan ketawa mulu, yang lain jadi liatin wajah manisnya Ning tuh," gerutu Gus Rayhan yang semakin membuatku terpingkal.

Setelah puas, aku mencoba berhenti dan mulai serius.

"Iya, apalagi yang Gus galauin?" tanyaku.

"Ning hapalannya sudah sampai mana?"

"Surat Al-Maidah ayat satu sampai tiga puluh tiga, surat-surat kecil mulai Adh-Dhuha sampai akhir al-quran. Kenapa, Gus?"

"Lumayan hapalannya Ning, mau saya simak dan khatamin kalau udah halal," ungkap Gus Rayhan yang langsung membuatku terpaku sembari tersipu.

"Enggak salah milih calon imam saya," godaku.

"Ah, gemes saya Ning kalau pipimu merah," ungkapnya yang seakan ingin mencubit pipiku. "Sayang belum halal," imbuhnya dengan lesu.

"Ada lagi yang masih bikin Gus galau?" tanyaku.

"Saya ingin Ning ingat kenangan kita saat kecil dulu, tapi saya tidak mau Ning terluka dan trauma," ungkapnya dengan wajah serius, memandang sendu ke depan.

Hanya senyum simpul yang kutampilkan, "Insyaallah tanpa kenangan itu saya akan tetap mencintai Gus. Saya mau mengulangi kenangan itu dan membuat kenangan baru."

Seketika binar di matanya terlihat saat menoleh. Ada harap di dalamnya, harapan besar padaku. "Sungguh, Ning?" tanyanya meyakinkan.

"Yaps, kita bisa lari-larian di surau dan beli es krim di confetti seperti kemarin. Gus bisa ceritain masa kecil kita lagi dan kita ulangi!" jawabku antusias.

"Jika mencintai masa lalu adalah bentuk berdamai dengan diri sendiri, maka mencintaimu adalah bentuk menyempurnakan masa lalu dan masa depanku." Senyum terkembang di bibirku, rasa hati ingin memeluknya, tapi apalah daya tangan tak sampai.

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now