Part 29. Keputusan

8 0 0
                                    

"Kalau Bu Ranum dan Ustaz Ravi bagaimana keputusannya?" tanya Nazil. Seketika suasana meja makan hening, semua mata tertuju kepada Bunda dan Ustaz Ravi.

"Kami sudah mengambil keputusan," jawab Ustaz Ravi dengan tegas.

Aku bangkit, menggeser kursi ke belakang untuk pergi dari sana. Namun, sebuah tangan menahanku.

"Nora," panggil Nazil dengan tatapan tajam. Hanya dengan pergerakan bola mata ia seakan mengisyaratkan untuk duduk kembali. Takut untuk membantah, aku memilih duduk kembali.

"Karena Zaqi maupun Nora sudah besar kamu tetap memilih seperti ini," ungkap Ustaz Ravi.

"Bunda berpikir hubungan ini tidak bisa dipertahankan, karena perasaan Bunda sudah tidak ada. Pernikahan kami juga tidak mendapatkan restu, jadi kami memilih untuk berpisah secara resmi--"

Brak!

Pyar!

"Non!"

"Ning!"

"Nora!"

Begitulah teriakan Bibi, Gus Rayhan, dan Nazil mendominasi saat terkejut melihatku mendaratkan pukulan di atas mangkok bubur ayam.

Mangkok putih itu pecah dengan isinya yang tinggal sedikit berceceran di meja. Tanganku di atas pecahan dan sisa bubur ayam terkepal kuat dengan darah yang mengalir.

Tatapan tajam dan mata merah berairku jatuh ke meja. Dengan napas menggebu aku menahan tangis dan sesak di dada.

"Pak Tirto siapkan mobil saya, Bibi kemasi barang-barang di kamar saya sekarang!" bentakku sembari menatap tajam mereka. Lalu, aku bangkit tanpa melihat Bunda maupun laki-laki itu.

Dalam hati mereka sudah tak ada kasih sayang untukku. Sejak awal memang aku hanya kesalahan yang tetap dilahirkan.

Bergegas ke kamar menyusul Bibi, hingga menjatuhkan diri di pelukan wanita paruh baya itu.

"Bibi, Bunda enggak pernah sayang sama Nora," aduku sembari terisak di pelukannya.

"Usstt, Non, bukan begitu maksud Ibu," ucap Bibi menenangkan sembari mengusap punggungku.

"Aku anak yang tidak diinginkan, Bi, seperti mereka yang tidak saling mencintai dan tidak direstui. Bibi," rengekku semakin histeris.

"Ssttt, Non, jangan ngomong gitu. Non itu anaknya paman sama bibi, Non itu putri cantiknya bibi yang mandiri." Bibi melonggarkan pelukannya, lalu membelai wajah dan menyeka air mataku.

"Nora, kamu mau ke mana? Kita ke rumah sakit dulu, ya, itu lukamu ...." Nazil yang baru datang mengungkapkan kekhawatirannya.

Aku menggeleng.

"Ning, pakai sorban saja. Kalau memang tidak ingin ke rumah sakit, balut saja lukanya setidaknya pendarahannya berhenti," pinta Gus Rayhan yang begitu tiba di kamar langsung menyodorkan sorban putihnya.

Nazil langsung mengambil surban itu dan mendekatiku. "Bi, ambilkan kotak P3K," pintanya.

Bibi langsung menuju laci untuk mengambil apa yang diminta Nazil. Begitu Bibi kembali, Nazil langsung menerima kotak P3K darinya.

Nazil mengambil obat kuning dan kapas untuk membersihkan darah di tanganku. Setelah itu, membuang kapas dan mengembalikan obat kuningnya ke Bibi. Baru meraih betadine untuk diteteskan di pergelangan tanganku yang terluka.

Terakhir baru melilitkan surban putih dengan garis merah dari ujung telapak tangan hingga mengikatnya di pergelangan tangan.

"Jangan terbiasa melukai diri karena emosi," cetus Nazil.

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now