Part 13. Teduhnya Surau Kita

11 2 0
                                    

"Mbak Nora ke surau lama di belakang rumah Abi. Itu lho bangunan megah warna putih yang kosong, Gus Rayhan yang nyuruh." Karena perkataan Nur kini aku di tempat tersebut bersamanya. Walau ada rasa takut di benak Nur yang sedari tadi menoel lenganku.

"Kenapa Gus Rayhan minta aku ke sini?" tanyaku.

"Anu, Mbak, tahu enggak sih gosipnya kalau Gus Rayhan tuh dihantui dua anak kecil berpakaian putih lari-larian di sini. Hampir semua santri selalu lihat dia berdiri di tempat kita sekarang ini ngelamun. Kalau enggak gitu dia mijit kepala, geleng, sambil nutup mata dan nyebut nama Allah terus langsung pergi."

Sontak aku mengerutkan dahi, tidak mungkin seorang Gus percaya dengan hal konyol seperti itu. Hanya bisa kuembuskan napas berat, lalu kami melanjutkan perjalanan memasuki surau tersebut. Tempat yang luas dengan cahaya redup, ruangan putih yang kosong. Hanya ada tempat imam salat dan meja dakwah tak lupa meja al-Qur'an di sana.

Aku menatap sekeliling, desain yang apik. Ala-ala budaya arab yang mewah. Selagi mengedarkan pandangan ada suara lembut Gus Rayhan yang memecah keheningan.

"Asalamualaikum," salamnya.

"Waalaikumsalam, Gus," jawabku dengan Nur.

"Nur, kamu tunggu di depan surau saja, ya? Saya ingin berdua dengan Ning saja," pinta Gus Rayhan.

"Duh, Gus! Saya juga enggak mau jadi orang ketiga!" kesal Nur yang langsung pergi. Begitu Nur keluar surau, Gus Rayhan berdiri di membelakangiku.

Seketika perasaanku jatuh ke kejadian tadi siang, melukainya dengan berbicara tentang Nazil. Aku hanya menunduk lesu sembari memainkan jemari.

"Gus," panggilku yang hanya dijawab dengan dehaman.

"Gus marah sama saya?" tanyaku yang hanya diliriknya. Cukup lama ia tak menjawab, hanya diam, menatap lurus ke depan, sambil melipat tangan di punggung.

"Maaf, Gus, sebenarnya saya tidak bermaksud memperlakukan Gus seperti Nazil memperlakukan saya. Menjauh untuk menjaga sama sekali tidak terlintas dalam pikiran saya, Gus." Dengan ragu aku menatapnya yang hanya melirikku--lirikan tajam.

"Ning mendengarkan perbincangan saya dengan Abi?" tanyanya.

"Enggak sengaja, Gus, tapi cuma sedikit kok dengernya." Aku menggigit bibir bawah, lagi-lagi tak mendapatkan jawaban darinya yang kembali meluruskan pandangan.

"Gus jangan gini, kalau mau marah sama saya silakan. Kalau Gus terluka karena saya lampiaskan, caci saja saya ...." Terdengar helaan napasnya yang berat.

"Saya tidak punya hak untuk itu karena luka ini saya sendiri penyebabnya," ungkapnya.

"Gus! Melihat Gus terluka seperti ini hati saya juga sakit, sesak rasanya. Gus enggak tahu percakapan Gus dengan Abi, bahkan setiap kalimat Gus hari ini membuat saya merasa bersalah. Hikss ... sungguh aku tidak layak memperlakukanmu seperti itu, Gus. Aku--"

"Ssttt! Jangan menangis," ucapnya dengan nada dingin tanpa menoleh sedikit pun. Aku semakin terguguh.

"Saya tersiksa meminta Gus menjauhi saya karena saya selalu berharap Gus ada di samping saya. Saya kecewa saat salat dan mengaji yang mengajak malah Nur. Saat saya lelah yang pertama saya cari Gus, tapi enggak ada. Saat saya ingin berlatih berjalan saya sangat ingin Gus yang memegang tangan dan menuntun saya berjalan."

Tak bisa dipungkiri aku menangis dan mengungkapkan semua sesak di dada.

"Asal Gus tahu orang yang paling menyesal karena menciptakan jarak itu saya sendiri. Saya ingin selalu berbincang dan tertawa dengan Gus. Jujur, saat dipeluk dan di dekat Gus Rayhan saya merasa hangat dan nyaman ...." Aku menjeda karena mendengar suara tawa di tengah tangisanku.

Cinta Dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang