Part 32. Wasiat Abi

7 0 0
                                    

"Foto keluarga siapa?" tanyaku sembari menatap keduanya dengan mata sendu. Namun, hanya bisa kukerutkan dahi saat Kiai menatap tajam dan merenggut foto dari tangan Gus Rayhan. Lalu, laki-laki parubaya itu pergi tanpa kata.

Gus Rayhan hanya bisa menunduk, terlihat jelas rasa kecewa di matanya. Akan tetapi, sedetik kemudian ia menampilkan senyum aneh, bisa dikatakan menyeringai. Setelah itu menatapku dengan mata memerah.

"Tidak ada, Ning, saya ambilkan buku catatan Abi dan Abah dulu." Ia menunduk, lalu berbalik.

Aku masih mengingat detail raut wajah keduanya. Seakan ada sesuatu rahasia dari foto keluarga yang membuat Kiai marah. Selama ini aku tak pernah tahu apa yang bisa memancing kemarahan Kiai. Mengapa foto keluarga bisa membuatnya marah?

Namun, dari keinginan Gus Rayhan untuk menunjukkannya padaku, pasti ada keluargaku di dalam foto itu. Selagi menerka masalah tadi, tiba-tiba pintu kembali terketuk. Tanpa kata Gus Rayhan masuk dengan tiga buku usang. Salah satunya kitab, mungkin dua lainnya buku catatan Abi dan Kiai.

"Ini Ning, ternyata Abah masih menyimpannya dengan baik. Ada kitab kesayangan kita dulu saat kecil, Ning." Antusias dan keceriaannya terlihat saat menampilkan kitab Ta'lim al-Muta'allim yang setahuku berisi tentang ilmu pengetahuan.

Kuamati begitu lama buku yang diberikan padaku itu, sampai Gus Rayhan duduk di tepi tempat tidur. Sedikit kuperbaiki posisi kacamata, lalu mengambil alih ketiganya. Sampai perhatianku tertuju pada buku bersampul tebal berwarna biru, mungkin karena bentuknya yang seperti kitab, apalagi ditambah debu di sekelilingnya. Klasik.

Senyum terulas di wajahku saat membuka halaman pertama. Indah juga tulisan Abi, hampir mirip dengan tulisanku.

"Apa Ning isinya?" tanya Gus Rayhan sembari mendekat untuk melihat apa yang tertulis di buku tersebut.

"Jika ada kata-kata melukai hati, menunduklah, dan biarkan ia melewatimu. Jangan masukkan dalam hati agar hatimu tidak lelah. Ali bin Abi Talib. Abi mengungkapkan perasaannya dengan quotes dan hadis seperti ini. Tidak heran kalau aku melakukan hal yang sama," ungkapku.

Gus Rayhan tersenyum, "Saya sudah membacanya Ning, beliau memang tidak pernah mengungkapkan masalahnya. Bisa dibilang itu hanya quotes islami maupun hadis yang disukainya," ucapnya.

Selagi membuka buku catatan yang juga terselip pengetahuan random, seperti tentang pesantren, tentang kehidupan rumah tangga dan lainnya. Sampai di sebuah foto dengan catatan di tepinya yang membuat senyumku memudar seketika.

Gus dan Ning kecil,

Jadi putra putri Abi yang baik, yang taat agama, yang bisa mengejar dunia juga akhirat.

Rayhan dan Zahranya Abi,

Dua malaikat yang akan selalu jadi rumah untuk Abi. Malaikat kecil yang selalu menyejukkan dan memenangkan hati Abi. Sesungguhnya Abi ada di hati kalian sampai kapan pun walau tidak selalu di sini.

"MasyaAllah, Gus, Abi! Saya rindu Abi!" jeritku sembari menunduk dan mulai terisak dan membawa buku tersebut ke dalam dekapan. Sungguh jelas Abi bersama putra dan putri kecilnya di gendongan, masih tegas dan gagah sosok Abi di masa itu. Sosok dengan sarung hitam, baju koko warna coklat kapucino yang senada dengan kopiah, tak lupa kacamata bertengger. Sungguh, ialah cerminan laki-laki yang aku idamkan sedari kecil.

Cinta Dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang