Part 35. Diary Nazil

7 0 0
                                    

Srettt!

Bunyi tirai terbuka menampilkan sosok berjas rapi dengan pakain serba putih dari kemeja, jas, hingga pantsuit. Tangannya terulur padaku bak menyambut sang ratu untuk digandeng ke pesta. Sedangkan matanya membulat nenatapku.

Aku dengan gaun panjang putih dan jilbab senada yang kupakai seadanya dari rumah. Tanganku meraihnya dengan lembut sembari tersipu malu dan tertunduk.

Fitting baju yang berhasil memukau Bunda dan ayah Nazil yang hadir. Tak lupa pula Aletta dan kedua orang tuanya.

Bunda dan ayah Nazil serasi memakai warna hitam dan putih. Ya, gamis brokat warna putih dikenakan ibu dengan hiasan dan hijab silver. Sedangkan ayah Nazil mengenakan kemeja putih dibalut jas dan pantsuit hitam berwarna silver, terlihat gagah ditambah kacamatanya.

Aku tersenyum memandang setiap wajah dari keluargaku. Ada rasa lega setelah menangis dan menyesal di pemakaman Abi. Sebenarnya, masih tersisa sesak dan kesedihan karena tak memiliki seorang ayah yang bisa mengucap ijab kabul nantinya. Kakiku melangkah turun setelah menggenggam tangan Nazil, hingga air mata menetes tanpa disadari.

Sayangnya, mata teduh laki-laki di sampingku itu awas dan mengetahuinya. Ia memiringkan kepala dan bertanya, "Kenapa menangis?"

Segera aku tersenyum dan menyekanya perlahan, lalu menggeleng, "Ini tangis bahagia," ucapku.

Terdengar helaan napas darinya, "Aku tahu ini tak mudah, menikah tanpa seorang ayah. Tapi, aku yakin Abimu melihat dari sana, ia bahagia dan bangga pada putrinya," ucap Nazil sembari membelai lembut pipiku.

Begitulah penguatan darinya selalu menghangatkan hatiku. Walau ada keraguan dan kecemasan tanpa alasan di hatiku. Bukan tentang Gus Rayhan, tetapi aku sangat mengkhawatirkan Nazil walau tahu ia ada di sampingku dan baik-baik saja. Apa ini yang dirasakan Aletta? Takut kehilangan dan cemas tanpa alasan, bahkan tatapan gadis kecil itu masih tertuju pada Nazil. Pandangan kosong dan hampa. Hal itu mengganggu pikiranku sejak kemarin.

"Nora, apa yang kamu cemaskan?" tanya Nazil tiba-tiba sambil memiringkan kepala, memandangku, dan menaikkan alisnya.

Aku hanya tersenyum, lalu menggenggam erat tangannya dan menggeleng. Begitulah kekhawatiran tersebut tertutupi.

Hingga acara fitting baju selesai, kami kembali ke mobil. Aku, Aletta, dan Nazil di satu mobil sedangkan Bunda bersama Om juga Tante. Tak lupa ayah Nazil yang senantiasa sendiri.

Di dalam mobil Nazil berpesan, "Nora, sudah sore kamu istirahat dan persiapkan untuk besok. Gladi bersih acara pranikah di Gedung Aswatama, lalu mengurus dokumen pernikahan ke KUA. Istirahat yang cukup, ya, istrinya Nazil." Ia tersenyum dan mengelus lembut puncak kepalaku.

Kejadian yang sampai malam masih membuatku tersipu malu setiap mengingatnya. Anehnya, di setiap mengingat itu timbul rasa khawatir dalam hatiku. Seharian dikacaukan oleh rasa cemas tanpa alasan membuatku memilih merebahkan diri di tempat tidur. Memiringkan tubuh ke arah balkon dan menatap langit malam dari pintu kaca itu.

Hingga suara ketukan pintu disusul kaki kecil yang berlari membuatku menoleh. Ternyata Aletta yang sudah naik ke ranjang dengan sebuah buku di pelukan. Diary biru yang tak asing bagiku, seakan pernah melihatnya.

"Mama Nola, ini punya Papa Nazil, Tata nemu di mobil kemalen," ungkap gadis kecil itu.

Aku mengubah posisi dari rebahan ke duduk bersandar ke punggung tempat tidur. Menarik Aletta ke pelukan, "Belum tidur ternyata," cetusku sembari mencium keningnya.

"Baca bukunya Papa Nazil, Ma!" protes Aletta sembari menodongkan buku itu padaku.

Nazil, ya? Sekarang aku mengingatnya. Dulu, ia pernah membawa diary itu saat SMA. Waktu itu ekstra jurnalistik, tetapi ia terlambat karena ikut latihan suara. Begitu selesai dengan latihannya, ia berlari dan berakhir duduk di sebelahku dengan buku diary biru dan pulpen hitam. Lalu, dengan napas terengah bertanya tentang tugas jurnalistik hari ini, bergabung dengan kelompokku, dan mengawali diskusi. Hingga membuka halaman terakhir dari diary tersebut untuk mencatat materi hari ini. Mengingatnya membuatku tersenyum lagi.

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now