Part 7. Gus Rayhan

18 3 0
                                    

"Abi!" jerit gadis kecil yang menangis histeris dari dalam mobil. Tangisannya bersamaan dengan goncangan pada mobil hitam mewah itu.

Dalam pelukan sang ibu, gadis itu masih memberontak. Memunculkan kepalanya di jendela mobil, memanggil sang abi yang mengejarnya dengan seorang pria kecil di gendongan.

"Hentikan mobilnya, Ranum! Kasihan putri kita. Ranum, bahaya berkendara saat gempa!"

"Ning Naula! Abah, aku ikut Ning Naula!" rengek laki-laki kecil di pelukan abi.

"Abi! Bunda, aku mau Abi dan Gus!" jerit gadis kecil itu pada bundanya yang semakin memeluknya dengan kuat. Wanita paruh baya dengan jas rapi itu menangis dalam diamnya. Keduanya masih berpelukan selama gempa besar terjadi, mobil pun menjauh dari tempat tadi.

Laki-laki dengan wajah samar yang dipanggil abi sudah tak terlihat lagi. Namun, tangisan masih memenuhi mobil itu. "Aku sayang Abi, Bunda ... Gus," rengek gadis itu yang semakin histeris saat guncangan semakin terasa. Sang sopir mendongak, mendapati sebuah pohon akan ambruk.

"Nyonya!"

"Akhh!"

"Abi!"

"Gus!" teriakku yang terbangun dari mimpi. Mimpi buruk semakin berdatangan, anehnya terasa nyata bagiku. Sontak kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan, mendapati ruangan bernuansa putih. Rumah sakit.

"Shodaqollahul adzim ...." Suara itu menyadarkanku, begitu lembut dan merdu. Kujatuhkan pada sosok yang menggelar sajadah di lantai, tepat di samping brankarku.

"Ada apa, Ning? Apa Ning bermimpi buruk?" Ia bangkit setelah menutup al-qur'annya, lalu melepas sarung serta melipatnya.

Aku masih terenyak dengan mimpi itu dan kembali mengingatnya, tetapi sakit terasa di kepala. Hanya berdenyut pelan, kusadari pula keringat dingin memenuhi wajahku.

"Gus," lirihku saat Gus Rayhan duduk di samping brankarku.

"Iya, Ning. Wajahmu ketakutan dan pucat, apa Ning bermimpi buruk?" tanya Gus Rayhan lagi, aku menggeleng.

"Tidak, aku baik-baik saja. Bagaimana dengan para santri, Abi, Umi, dan Gus sendiri?" tanyaku yang menilik setiap inci tubuhnya.

"Alhamdulillah, kami baik-baik saja, Ning," ucapnya sembari tersenyum, aku bernapas lega, lalu menatap langit-langit.

"Aku merepotkanmu, maaf ... ah iya, bagaimana dengan agenda hari ini?" Aku kembali menatapnya dengan gelisah, tetapi ia dengan senyumnya mampu menenangkan kembali.

"Tidak, Ning, hari ini kami kedatangan Ustaz Ravi. Aku baru ingat telah mengundang beliau juga kemarin. Jadi, Ning bisa memenuhi agenda setelah sembuh," ucapnya dengan tenang.

"Tidak, Gus, aku baik-baik saja sekarang. Kita bisa kembali ke pesantren, ini masih jam sepuluh--"

"Ning! Aku sudah sangat khawatir karena kakimu terkilir dan tertimpa papan kayu. Aku mohon, Ning, dengarkan aku kali ini saja."

Seketika aku diam mematung mendapati ketegasannya. Gus Rayhan menghela napas, lalu membaringkanku dengan baik, berlanjut menyelimuti.

"Gus Rayhan marah?" tanyaku ragu-ragu, terlihat ia memejamkan mata sembari menghela napas seakan mengontrol emosi.

"Tidak, istirahatlah!" tegasnya sembari menatapku, jelas ia marah bahkan sikap ramahnya hilang.

"Gus, manisnya hilang, lho," ungkapku dengan nada manja yang membuat Gus Rayhan menatapku dengan raut wajah tegas.

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now