Part 39. Hujan di Langit Dubai

6 0 0
                                    

"Saya nikahkan Nazil Dzikri Nuarta bin Tirta dengan Nora Vivian Az-Zahra binti Ravi dengan mas kawin dua juta sembilan ratus dua puluh ribu dan seperangkat alat sholat!"

Ijab terucap dari bibir penghulu penuh keyakinan, sedangkan mataku dengan ragu menatap ke belakangnya. Tertuju pada laki-laki bermata teduh dengan gamis putihnya. Ada gurat kekecewaan di mata laki-laki yang tak lain adalah Gus Rayhan. Ia menatapku sembari mengepalkan tangan.

Hingga sebuah tangan yang kulihat ketika menunduk menyadarkanku. Tangan kiri Nazil menggenggam tanganku untuk menenangkan. Aku tersenyum, ya, mahar dua juta sembilan ratus dua puluh ribu itu sejumlah hari selama delapan tahun aku menunggunya. Kuhela napas dan tersenyum sembari menggenggam tangan Nazil.

"Saya terima nikahnya Nora Vivian Az-Zahra binti Ravi Ukhrawi dengan mas kawin dua juta sembilan ratus dua puluh ribu dan seperangkat alat sholat!" ucapnya dengan tegas.

Sementara pandanganku tertuju pada Gus Rayhan yang bangkit dan berjalan ke pojok membelakangi kami.

"Mungkin aku egois, Ning, tapi aku juga merasa tidak adil ... salahkah kukatakan jika kau menyalahi takdir?" tanyanya dalam batin yang bisa kudengar. Ia menoleh ke belakang, menatapku dengan air mata yang membasahi pipi.

"Gus Rayhan!" teriakku yang terenyak dari mimpi. Terbangun di kamar serba putih yang sepi. Hanya ada tirai yang tertiup angin dan cahaya matahari menembus melewatinya. Aku bisa merasakan basah di pipi, perlahan kuusap. Itu hanya mimpi, tapi aku menangis secara nyata dibuatnya.

Tidak. Memang sempat terlintas kerinduan dalam hatiku untuknya, harapan akan hadirnya di saat aku rapuh pun ada. Akan tetapi, ada luka yang lebih besar. Harapan yang dihancurkan oleh takdir tragis. Rindu yang tak akan bisa terobati pada ia yang telah pergi. Nazil. Hatiku kembali menjerit, merintih, hingga tergugu menangis dalam pelukan kehilangan.

Pernikahan yang aku harapkan bertahun-tahun hanya terjadi di mimpiku. Bahkan tak sempat kulihat wajah manis laki-laki yang kucintai itu di dalamnya. Ijab kabul terucap tapi hanya dalam alam bawah sadar. Semua tentangnya hanya hal yang samar. Pernikahan, masa depan, kehidupan, teman hidup, rumah impian. Semuanya sirna saat itu hanyalah angan yang tak akan bisa diwujudkan. Tangisku pun hanya terdengar di kamar hotel yang suram itu.

Hingga sinar sang surya mengenai seluruh ruangan. Membuatku melirik keluar, ia sudah naik ke permukaan, bisa kulihat dari balik tirai putih yang menutupi pintu kaca balkon. Cahaya harapan itu membuatku sadar jika hidup terus berjalan dan aku harus mengikuti kehidupan yang berputar ini. Kuseka air mata, lalu mengerjap ke seluruh ruangan.

Tatapanku berakhir ke kotak warna Lilac di atas meja. Aku ingat itu hadiah yang dititipkan pada Umi dari Gus Rayhan, kuputuskan untuk membuka dan melihatnya. Sedikit mencondongkan badan agar tangan bisa meraihnya, tetapi saat berhasil aku malah terhenti karena melihat cincin melingkar di jariku. Cincin yang harusnya Nazil sematkan di jari manisku, tetapi sekarang aku pakai karena keinginan hati tanpa memedulikan makna dan anggapan orang lain. Setelah cukup melamunkannya, aku langsung mengambil dan memangku kotak berukuran sedang itu.

Membuka isinya ... gamis abaya, hijab, dan cadar warna ungu soft. Terdapat Al-Quran, dan tasbih di dalamnya. Aku tak tahu apa yang ia inginkan sampai kutemukan surat terselip di dalamnya.

Ning Naura

Haram bagi saya menginginkan perempuan yang telah bersuami nantinya. Jadi, saya akan pergi ke Kairo tapi saya titipkan hadiah ini sebagai ucapan selamat untuk pernikahan kalian. Cadar ... cobalah memakainya, setidaknya saya akan menjaga pandangan saat nantinya bertemu sama Ning Naura. Maafkan saya, tapi membayangkan Ning memakainya sudah membuat jantung saya berdebar kencang. Saya tidak bisa berbohong, Ning, belasan tahun berlalu saya masih menunggu dan mencintaimu. Kalau boleh jujur Ning Naura akan semakin cantik memakainya. Cukup, saya cukup bahagia melihat Ning bersama orang yang dicintainya. Mas Nazil sangat baik dan mencintai Ning, mungkin cintanya lebih besar daripada saya hingga Tuhan meyakinkan Ning untuk memilihnya. Semoga bahagia, Ning.

Cinta Dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang