50. Peringatan

6 0 0
                                    

"Nora, ya? Setelah bertemu denganmu, aku rasa keluarga ini tidak adil. Huft, tapi aku yakin cinta kalian masih ada dan tidak biasa, semoga bahagia bersama Agatha," pesan Kak Ilse-kakak iparku sambil menepuk pundak dan melepas pelukan saat mengantar kami ke bandara.

Beralih ke ibu mertuaku, "Nak, Agatha sangat mencintaimu bahkan ia selalu menjagamu. Aku harap kali ini kamu bisa membalas itu, jangan membuatnya kecewa dan terluka," pintanya sembari memegang kedua lengan seakan menguatkan.

Anehnya, pesan mereka seakan menunjukkan sesuatu dan membuatku khawatir selama di pesawat. Aku bersandar pada dinding pesawat, sementara perasaan dan pikiranku gelisah tanpa alasan. Sementara laki-laki di sampingku menggenggam tangan dan memandangiku.

"Sayang, apa yang kamu pikirkan? Sampai kapan terus bersedih seperti ini?" tanyanya.

Hanya helaan napas yang aku keluarkan, "Biarkan aku begini sementara waktu, nanti akan membaik. Aku tidak ingin bicara," ungkapku yang membuatnya tersenyum.

"Ya, tetaplah begitu, tapi mungkinkah kamu tidak tertarik untuk menulis artikel?" tanyanya yang tiba-tiba mengeluarkan notebook dan pulpen. Menunjukkannya padaku dengan wajah girang.

Dengan malas aku meliriknya saat ia memakai kacamata.

"Aku akan bercerita tentang sesuatu yang menarik, seperti seribu kegagalan untuk meraih satu cahaya dunia. Apa kautertarik?" tanyanya.

"Cerita siapa? Maksudmu?" Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapannya yang ngelantur tidak jelas.

"Ehm, cerita keluargaku selama di Amsterdam hingga mendirikan perusahaan Novelart," ucapnya sedikit gusar.

"Aku tidak tertarik."

Satu kalimat itu berhasil membuatnya diam sekaligus merenggut kebahagiaan di wajahnya. Aku hanya memijit dahi, menunduk, sembari memejamkan mata. Di saat mood-ku memburuk, tidak ada yang benar-benar bisa membuatnya membaik kecuali tidur.

Tak tahu berapa lama aku tertidur sampai terbangun karena aroma kue pai. Sayup-sayup aku membuka, perlahan menyadari tengah bersandar di pundak ternyaman. Begitu membuka mata, penendangan pertama yang kulihat adalah lukisan wajah di pangkuan suamiku. Tangan putihnya memegang pensil di atas kertas buku jurnal miliknya. Begitu kesadaranku terkumpul sepenuhnya, aku langsung mundur untuk melihat wajah suamiku. Ia terlihat serius pada gambarnya.

Namun, sedetik kemudian menoleh kepadaku dengan wajah dan senyuman hangat. Tangannya mengusap puncak kepala dengan lembut, "Kau sudah bangun?" tanyanya sambil tertawa kecil.

Mungkin karena melihatku menyipitkan mata, lalu menguceknya. Dengan cepat kesadaranku berkumpul menyadari masih berada di pesawat. Perhatianku langsung tertuju pada kue pai begitu sadar, tetapi saat Agatha menutup buku yang digunakannya menggambar dan menyelipkan di sampingnya, perhatianku langsung beralih. Tanganku pun langsung menyambarnya.

Ia yang tampak terkejut mundur karena tanganku di depannya. Tak mencoba merebut, ia malah menggaruk tengkuk dan menatap ke arah lain.

Aku membuka dengan meliriknya, benar tergambar wajahku saat tidur tadi. Bukannya marah, aku malah tersenyum menyadari bakat lain suamiku, "Kamu bisa menggambar?" tanyaku.

Agatha menoleh dengan sedikit bingung, untuk beberapa saat berpikir. "Apa aku tidak boleh menggambar istriku?" tanyanya.

Tentu aku menggeleng untuk menjawabnya, "Bagus, tidak kusangka suamiku bisa melukis," ucapku sembari tersipu malu.

Tak ada tanggapan, hingga aku sadar jika ditatap seseorang. Tentu suamiku sendiri yang tersenyum aneh dan menatapku.

"Kenapa?" tanyaku segera.

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now