47. Sepertiga Malam

5 0 0
                                    

"Bidadari Surgaku, cantik sekali saat memandangnya terlelap. Kebaikan apa yang kulakukan hingga bisa mendapatkanmu?" ucapnya sembari mencubit puncak hidungku.

Memang mataku terpejam, tetapi aku masih bisa mendengar suara dan mengetahui apa yang dilakukannya. Ia berada di atas tubuhku dengan posisi menyilang dan tangannya menengadah, menyangga kepala agar bisa memandangku. Sementara aku, masih nyaman dalam kondisi ini walau tidak terlelap sepenuhnya. Sampai ia tersenyum, lalu bangkit. Dengan cepat aku memeluknya dari belakang meski mata masih malas terbuka, aku ingin mencegahnya pergi.

"Sayang, kamu bangun?" tanyanya yang hanya kujawab dengan erangan. "Mau ikut tahajud?"

Aku mengangguk dan menempelkan dagu di bahunya.

Tangannya menyentuh pipiku, ia pun mendaratkan kecupan di kening. "Biarkan aku mandi dulu," pintanya.

Langsung kugelengkan dan mengerang lagi, bahkan memeluknya lebih erat.

"Mau mandi bersama?"

Aku pun mengangguk dan menggelayutkan tangan di lehernya, membuatnya menggendongku di punggung sampai ke kamar mandi. Begitu selesai dengan kegiatan mandi kami menunaikan sholat tahajud. Untuk pertama kalinya aku memiliki seorang imam di sholat sepertiga malamku. Kali ini bukan lagi berdoa meminta jodoh yang kupanjatkan, tetapi semua doa yang terbaik untuk suamiku.

Sholat selesai. Ia berbalik sembari mengulurkan tangannya untuk kucium. Dengan senyum modus aku mencium tangannya, lalu langsung mendekat dan berbaring di lantai dengan kepala yang bersandar di pangkuannya.

Terdengar tawa darinya yang mengusap puncak kepala beberapa kali dan memandangiku.

Sayangnya, aku malah menarik tangannya dan membawanya ke pelukanku. Kami menghela napas secara bersamaan. Hal itulah yang membuatku memilih berbaring sehingga bisa melihat wajahnya dan mengusapnya lembut.

"Kenapa?" tanyanya.

"Ternyata imamku juga tampan," ungkapku.

Ia tersenyum, "Kamu tidak lelah? Atau ingin lanjut tidur?"

Aku menggeleng.

Suamiku itu malah memicingkan mata dan tersenyum miring, "Apa istriku ini mau melanjutkan permainan semalam hingga Subuh?" tanyanya.

Refleks aku mencubit lengannya, "Kamu yang kelelahan ... tidak! Maksudku ... aku khawatir kamu kelelahan .... Akh! Entahlah! Terserah!" racauku menyadari bagaimana pun aku menjelaskannya akan menciptakan salah paham.

"Aku paham, mau tidur lagi?" tanyanya yang langsung kuangguki. Tangan kanannya menepuk pelan lengan, sedangkan tangan kiri mengusap lembut puncak kepala.

Hal itu membuatku tertidur pulas di pangkuannya, begitu nyaman dengan kehangatan dan kasih sayang yang ia berikan. Hingga samar-samar aku mendengar bacaan Al-Qur'an yang dilantunkan oleh suara bass Agatha. Sulit untukku terbangun sampai mendengar doa menyelesaikan bacaan Al-Qur'an dan membangunkanku.

"Sayang bangun, ayo sholat Subuh," ajaknya sembari menepuk pelan lenganku.

Mendengar itu, aku langsung membuka mata. Ia pun membantuku bangun dan merangkulku yang masih mengumpulkan nyawa.

"Kamu masih ngantuk?" tanyanya.

Aku mengucek mata, lalu mengangguk.

"Ayo ambil air wudhu," ajaknya. Kami pun kembali ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Aku sedikit malu dengan situasi ini karena masih merasa mengantuk di sholat malam bersama suami untuk pertama kalinya. Sedangkan ia dengan sabar menjagaku dan tetap menjalankan kewajibannya. Bahkan setelah sholat subuh aku langsung memeluknya dan memejamkan mata. Bisa kurasakan ia melepas mukena meninggalkan piyama warna Lilac yang samaan dengan miliknya. Ia pun membaringkanku di tempat tidur, tak lupa menyelimuti pula. Aku bersyukur memiliki suami sepertinya, caranya memperlakukan perempuan sangatlah baik.

Cinta Dari Masa LaluNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ