48. Rencana Terbaik

6 0 0
                                    

"Bagaimana kalau aku menyakitinya? Aku tidak tahu bagaimana akibatnya, aku sudah pernah meninggalkannya belasan tahun lalu. Tujuh belas tahun ia menungguku, tetapi aku malah melukainya lagi dan lagi. Bagaimana aku harus meminta maaf padanya?" tanyaku pada Agatha.

Guna memberi ketenangan, ia menggenggam tanganku.

"Aku tidak yakin dengan apa yang aku katakan, tetapi ikuti kata hatimu. Jika kamu ingin mengatakannya, katakan tanpa keraguan. Kebenaran memang menyakitkan dan ia tahu itu, jika ia mencintaimu maka ia hanya ingin kamu bahagia. Selanjutnya, kamu juga perlu membantunya untuk hidup bahagia," tutur suamiku itu, kuakui perkataannya benar.

Pada akhirnya, aku yakin untuk mengatakan kebenarannya dan mengangguk, lalu mengubah topik pembicaraan.

"Lalu, bagaimana rencanamu?" tanyaku.

"Sudah lima hari sejak melakukan registrasi kuliahmu, tersisa dua hari. Hari ini dan besok, aku berencana untuk mengajakmu menginap di rumahku hari ini. Apa kamu setuju?" Ia meminta persetujuanku untuk rencananya yang teratur, tentu aku tidak akan menolaknya. Lagi pula hampir semua acara pernikahan dilakukan di rumah, walau orang tuanya setuju aku tetap merasa itu tidak adil. Mungkin saja ayah Agatha menyetujuinya karena menghormati Kakek.

"Kenapa aku harus menolaknya? Jadi, hari ini apa jadwal kita?" tanyaku lagi.

"Bagaimana kalau kita datang ke perusahaan? Aku akan mengenalkanmu sebagai istriku, lagipula ayah dan ibu ada di sana. Setelah itu, kita bersama ayah dan ibuku ke rumah. Kakek dan orang tuaku pasti akan menyukaimu," ucapnya dengan yakin.

Aku malah mengernyitkan dahi, "Bagaimana mereka bisa menyukaiku? Mungkin mereka tidak suka dengan perempuan sepertiku," sangkalku mengingat identitasku yang masih samar. Memang pewaris tunggal keluarga Dehoveen, tapi keluargaku bukan pemilik perusahaan seperti mereka. Apalagi aku seorang muslimah, sedang menjalani kuliah, dan independent woman. Beberapa orang akan menghindari memiliki istri mandiri dan bekerja, bahkan sebuah keluarga akan menentang hal itu.

"Memangnya kamu kenapa?" Ia balik bertanya dengan nada gelisah.

"Sebenarnya aku ingin membicarakan hal ini, apa tidak masalah jika nantinya aku tidak bisa mengurusmu sepenuhnya karena kuliah? Bisa saja mereka tidak menyukaiku karena menyusahkan anaknya dan tidak becus menjadi istri sep--"

"Jangan katakan itu," potongnya sembari mendaratkan jari telunjuknya di bibirku. "Aku yakin kamu bisa melakukannya, aku bisa mengurus diriku sendiri. Baiklah, tatap mataku," pintanya.

Mau tidak mau aku menatap lekat mata abu-abunya.

"Perempuan mandiri, penuh ambisi, berprestasi, dan bisa menjaga diri ini membuatku jatuh cinta. Alasanku mencintaimu memang aneh, tetapi kemampuanmu menyeimbangkan ilmu pengetahuan dan agama tidak bisa kutemukan dari perempuan lain. Aku melihat cerminan ibuku dalam dirimu, tak hanya menjadi seseorang yang berhati lembut, tetapi juga bisa mendidik anaknya dengan baik. Memiliki perempuan sepertimu adalah sebuah kebahagiaan bagiku. Terlebih beberapa hari ini kamu menyadarkanku, memang di luar kamu akan menjadi seseorang yang tangguh. Tetapi, di hadapanku ... kamu memegang peranan seorang istri dengan baik. Aku tidak keberatan membawakan sarapan setiap pagi karena kamu akan membaginya denganku."

Penjelasan panjangnya membuatku memandangnya dengan mata berkaca-kaca dan tersenyum. Sedetik kemudian aku menunduk dan tersenyum miring.

"Bagaimana dengan keluargamu?" tanyaku.

"Ehm, aku yakin kakek, ayah, dan ibu akan menyukaimu. Bahkan, mereka akan lebih menyayangimu daripada aku," balasnya.

"Kenapa begitu?" Aku mengernyitkan dahi karena merasa heran.

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now