Part 15. Muncul Trauma

7 1 0
                                    

"Siapa itu merokok di pondok?" gumamku sembari memicingkan ke arah pria yang mengepulkan asap rokok di bawah pohon mangga. Namun, baru saja aku menggerakkan kursi roda untuk menasihati, gelegar suara Nur terdengar.

"Kang! Kakang pondok dilarang ngerokok, ya! Malam-malam mojok lagi," tegur Nur yang langsung mendekat dan memukul lengan pria itu. Sontak aku membulatkan netra saat pria yang wajahnya tidak terlihat itu menatap tajam karena rokoknya jatuh.

"Kamu siapa berani memukul saya! Di mana takzimmu sebagai santri? Bukan mahram, menjauh dari saya!" tegur pria itu.

"Maaf, ya, tetapi Gus, Ning, maupun santri di pondok ini kedudukannya sama. Dan ya, siapapun yang melanggar aturan tetap dihukum!" bentak Nur tak kalah tingginya.

"Nur!" Suara itu mengagetkanku dan mereka berdua, dari dalem berlawanan muncul Gus Rayhan yang kelewat kesal. Nur langsung mundur dan menunduk.

"Berduaan dan mojok begini bisa menimbulkan kesalahpahaman. Nur, kamu sebagai wanita harusnya menjaga pandangan dan sikap." Aku berdecak mendengar kalimat itu.

"Maaf, Gus, tapi Kang ini merokok--"

"Hei! Saya Gus Zaqi, kamu tahu diri ya kalau mau menegur orang. Perempuan seperti kamu tidak tahu diri, main memukul tangan saya. Kita bukan mahram, kamu menegur saya melanggar aturan, tapi kamu sendiri melanggar batas." Kali ini suara Gus Zaqi terdengar tegas.

"Ma-maaf, Gus saya tidak tahu," lirih Nur. Aku yang mendekat pun tahu kalau gadis itu terisak. Sontak aku menarik tangannya, menghela napas, lalu memeluknya.

"Sudah, Nur juga kenapa ke sini malam-malam. Kalau mau menegur lelaki jangan seperti itu, Nur, kamu lewat saja sambil menegur. Mau dia mendengar atau tidak itu urusannya, sudah kembali ke kamarmu." Nur pun bangkit dan mengangguk, lalu aku mendekatkan kursi roda ke Gus Zaqi.

"Gus Zaqi juga kenapa merokok padahal tahu itu tidak baik untuk kesehatan. Apalagi di umur Gus yang masih muda. Oh iya, tidak sepatutnya juga kalian meremehkan perempuan karena sikapnya. Jangan memandang buruk seseorang hanya karena caranya bersikap salah, tidak ada yang tahu bagaimana hatinya," tuturku dengan raut wajah kecewa.

"Maaf, Ning, saya antar ke kamar, ya?" tanya Gus Rayhan. Aku langsung menggeleng secara perlahan, lalu memutar kursi roda dengan malas. Aneh, aku merasa sedih karena hal sepele atau memang ini firasat buruk. Ada yang mengganjal di hati.

Hingga sampai di halaman dalem, aku berhenti sejenak. Ponselku berbunyi, tertera nama Bunda di sana. Namun, tiba-tiba ada yang mendorong kursi rodaku menjauh dari sana.

"Apa yang kalian lakukan? Hei!" teriakku. Tak lama kemudian, kursi roda berhenti di gerbang kebun, tepat di depan jalan menurun menuju gazebo. Sontak aku menoleh untuk melihat siapa yang mendorong.

"Ish, Mbak Nora ups Ning Nora maksudnya. Maaf salah," ucap sosok itu sembari berdiri di depanku. Kini, ada dua perempuan yang merupakan santri berdiri di hadapanku dengan tatapan tak senang. Satunya berdecak dan melipat tangan di depan dada.

"Mbak ini punya pelet apa sih? Sampai Gus Rayhan manggil orang enggak paham agama kayak gini sebagai Ning. Geli tahu dengernya," sindir perempuan yang bersedekap itu.

"Eits, tapi siapa sih yang enggak tergoda sama pakaian alim yang terbuka. Tuh hijabnya enggak nutup dada, pake sok-sokan makai jas sama rok. Padahal kaosnya tipis warna putih, kerudungnya disingkap. Pantas ngasih materi depan santri, Mbak?!" tegasnya sembari mencengkeram daguku.

"Mau kalian apa? Saya memang baru di pondok, enggak paham agama--"

"Karena itu Mbak enggak pantes di pondok ini, pakai ngasih materi, deket sama Gus Rayhan. Tahu diri, Mbak! Cuma karena lulus kuliah dan kerja di kantor Mbak sombong dan angkuh banget. Jijik tahu lihatnya!" sela perempuan itu sembari menunjuk wajahku. Sontak aku menjauh sembari menutup mata, tetapi ludah muncrat di depan wajah setelah mendengar suaranya meludahkan sesuatu.

Cinta Dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang