Part 4. Gus Misterius

36 4 0
                                    

“Ning,” panggilnya dengan suara lembut yang berhasil mencetak senyum bahagia di bibirku. Entah cahaya mana yang ia bawa, tetapi itu cukup menyilaukan di ruangku yang suram. Langkah pendeknya membuat jantungku berdebar, perasaan aneh seperti apa ini?

“Gusku!” sorakku dalam hati, tetapi hanya bisa menoleh ke arah pria kecil yang berlari ke arahku itu. Perlahan aku menutup Al-qur’an setelah mengingatnya, lalu kupeluk erat dengan tangan kecil ini. Begitu berdiri pandanganku hanya terarah kepada sosok yang kupanggil Gus, entah bagaimana aku tersenyum kepadanya.

“Ayo bermain bersama!” Tangan kecil kami saling bertaut, lalu kaki beriringan berlari keluar dari ruangan tersebut menuju cahaya tadi, tempatnya muncul pertama kali.

“Gus, maukah kau berjanji?” tanyaku saat sampai di luar ruangan tadi, tepatnya halaman luas yang penuh bunga. Aku tak asing dengan lingkungan tersebut, seperti tempat yang pernah aku tinggali.

Beberapa orang dengan baju muslim layaknya di pesantren berkeliaran, bangunan di sekeliling seperti pondok pesantren. Sedangkan ruangan tadi hanya rumah sederhana yang tertinggal.

Mataku mengerjap, lalu kembali kepada Gus di depanku yang mengangguk. Segera kutunjukkan jari kelingking untuk bertaut dan mengucap janji, “Bersamamu aku ingin pulang, kemanapun aku pergi, jemputlah bagaimanapun caranya. Aku ingin menikah ….”

“Hentikan!” teriakku tiba-tiba dan tersadar ke dalam dunia nyata. Itu hanya mimpi, tetapi hatiku berkata lain tentang kata menikah yang diucapkan di usia yang masih kurang dari tujuh tahun. Napasku terengah saat begitu saja terenyak, bangun dalam posisi duduk sembari melihat sekitar.

Aku di dalam kamar dengan penerangan redup, napasku kembali teratur setelah kupegangi dada sembari memejamkan mata. Tak ada yang perlu kukhawatirkan, selain … jam dinding yang menunjukkan pukul 08.00 tanda dimulainya rapat. Masa bodoh dengan Ning, Gus, dan menikah. Hari ini aku harus rapat untuk program mewujudkan cita-cita santri.

Tak perlu waktu lama bagiku untuk mandi dan bersiap-siap, tetapi kali ini aku harus berlari-lari ke mobil dan bergegas berangkat ke kantor. Hari paling konyol, untuk pertama kalinya aku tergesa-gesa dan terlambat sampai di gedung Nuarta. Untuk pertama kalinya harus berlari sembari melihat jam walau tahu sudah jam delapan lebih.

“Maaf, aku terlambat,” ucapku saat sampai di ruang rapat, setelah mendorong pintu dengan kencangnya. Disusul napas terengah aku melihat ke dalam ruangan di mana hanya ada Nazil dan ayahnya yang merupakan presdir Nuarta. Seketika keheningan menyelimuti saat keduanya menatapku dengan tatapan tak senang, hanya bisa kuteguk ludah dan mencoba tenang. Menunduk dengan rasa bersalah sembari mendekati mereka.

“Kenapa kau terlambat?”

“Itu karena—”

“Karena aku,” sela Nazil tiba-tiba, sontak aku meliriknya yang menunduk sembari mengepalkan tangan. Ia terlihat meneguhkan sesuatu sampai melanjutkan perkataannya, “Semalam dia kehujanan dan tidak pulang karena aku meninggalkannya ….”

“Se-semalam? Jadi, itu alasannya gamis brokatmu basah dan kotor?” tanya Presdir Nuarta.

“Ayah, apa yang kau lakukan sema—”

“Maaf, tetapi semua berkasnya sudah kupersiapkan untuk keberangkatanku ke pondok pesantren Al-Hady hari ini. Selain itu, jadwal dan kendaraan sudah diatur, jadi tiga puluh menit lagi saya ke sana.”

“Apa? Berarti jam sembilan—”

“Sebentar lagi pihak dari pondok pesantren yang akan menjemputmu,” sela Presdir Nuarta yang kuangguki dengan mantap.

“Aku akan mengantarmu,” ucap Nazil tiba-tiba sembari bangkit dari kursinya dan menarik tanganku untuk meninggalkan ruangan tersebut.

“Kalian berdua kali ini tidak bisa bersama, Nazil, maafkan ayah. Kau harus tetap di perusahaan untuk menggantikan ayah.” Nazil hanya menghela napas, entah masalah apa yang membuatnya tertekan, tetapi wajahnya tak pernah setegas dan sedingin saat ini. Kali ini Nazil pasrah dan melepaskan genggaman tangannya.

“Aku harus ke resepsionis dan mengurus berkas lainnya,” ucapku sembari tersenyum, seakan tak terjadi apa-apa.

Kini, aku berdiri di meja resepsionis sembari menjelaskan berkas apa saja yang kubutuhkan di sana. Tak hanya itu, aku juga membutuhkan kiriman progress dan materi yang akan dijadikan bahan ajar di sana. Beruntungnya, semalam kami sudah mendiskusikan itu dan membagi tugas untuk menyelesaikannya.

Dalam membuat materi tentu tugas Pak Danang selaku penasihat dan dosen jurnalis yang agamis, sehingga materi yang kusampaikan tak sembarang materi.

Begitu pun progress lainnya yang akan kulakukan seperti wawancara, penyelidikan, dan kegiatan sosial lainnya dengan masyarakat nantinya.

Semua sudah tersusun selama satu bulan, bersamaan dengan berkas yang diberikan. Hingga terdengar suara berisik dari karyawan lain yang saling berbisik-bisik. Tak sengaja namaku pun juga disebut oleh mereka.

"Bukannya itu Gus Rayhan yang ada di acara televisi itu!"

"Iya, dia Gus lulusan Yaman dan pemilik perusahaan Al-Hady!"

"Dengar-dengar dia selalu memotivasi dan mendukung mimpi banyak orang termasuk para santrinya."

"Ah, masa bodoh semua itu, ia sangat tampan dan sopan!"

"Bukannya ia ke sini menjemput Nora ke pondok pesantren?" Mendengarnya aku langsung menoleh, tetapi yang kutatap terlebih dahulu adalah seorang pria dengan baju koko coklat kapucino dan celana hitam panjang. Sosok sederhana yang berjalan sembari mengatupkan tangan dan tersenyum kepada semua orang yang ada.

Wajahnya tak asing, rasanya baru kemarin sore aku bertemu dengannya saat hujan. Benar, pria yang tak lain adalah Gus berhati mulia itu. Aku hanya bisa tercengang menatapnya, tak percaya jika dipertemukan kembali. Sedangkan ia terus melangkah ke arahku, netra berbinarnya menatapku lalu mengangkat alis seakan bertanya, 'Ada apa?'

Begitu ia berdiri tepat di hadapanku, senyum manis yang ditampilkannya, lalu bertanya, "Anda Nora?"

Aneh, lidahku keluh untuk menjawab dan hanya mengeluarkan beberapa ejaan yang tak jelas.

"A-aku i-itu ...," ucapku terbata sembari menoleh ke kanan dan kiri, lalu berakhir menunduk karena tak berani menatap matanya yang terus menelisik raut wajahku.

Sekilas aku melihat bibirnya menirukan ejaanku, mencoba memahami apa yang kukatakan tadi. Namun, aku terlalu gugup untuk menjawab sampai hanya anggukan dan senyum yang menjawab.

"Ah, Ning, mari!" Ia mempersilakanku untuk mengikutinya, langsung kuraih koper. Namun, dengan cepat matanya menangkap pergerakanku, lalu beraksi untuk menggantikanku membawa koper itu.

"Izinkan saya membawakannya, Ning," ucapnya yang membuatku semakin gugup dan hanya menjawab lewat anggukan. Kini, tanganku memegang tali tas kecilku untuk menutupi rasa gugup ini. Kenapa juga ia semakin membuatku panas dingin dengan memanggil Ning? Sampai di parkiran aku berdiri di hadapannya.

"Kenapa kamu memanggilku seperti itu? Panggilan itu ...."

"Ning?" tanyanya sembari memiringkan kepala untuk melihat wajahku dengan jelas, ya, sedari tadi aku menunduk karena gugup.

"Ya, kenapa kamu memanggilku Ning?" tanyaku sembari memberanikan diri menatapnya. Gus itu malah tersenyum melihat tingkahku.

"Ning adalah panggilan untuk anak Kiai, bukannya Ning Naura anak--"

"Ibuku seorang CEO perusahaan dan aku tidak tahu tentang ayahku," ucapku sembari menatapnya dengan lagak sombong, lalu melengos, dan menghadap ke kiri untuk memalingkan wajah dari Gus itu.

"Oh iya, perkenalkan saya Muhammad Rayhan Al-Hady, apa Ning tidak mengingat sesuatu?" Mendengar pertanyaan itu aku merasa aneh, caranya bertanya seakan kami sudah kenal sebelumnya.

"Apa sebelumnya aku mengenalmu?" tanyaku yang menatapnya dengan rasa penasaran, tetapi raut wajahnya berubah drastis. Tatapan matanya menjadi sendu, bahkan senyumnya memudar.

"Aku Gus Rayhan, Gusmu, Ning." Hatiku bergetar mendengar jawabannya, angin pun menerpa tubuh dengan kencang saat itu. Kenapa rasanya musim tiba-tiba berubah? Perlahan aku menghadapnya kembali, mendekat, dan menatap lekat mata sendunya.

"Gus Rayhan? Gusku? Aku Ningmu?"

***

Gus Rayhan? Siapakah Gus Rayhan? Kenapa hadir dan menganggap Nora sebagai Ningnya? Jadi penasaran apa hubungan mereka sebenarnya? Hemm, ada-ada Gus satu ini ....

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now