Part 28. Bubur Ayam

12 0 0
                                    

"Yang, ayo bangun sholat dulu," ucap seseorang yang terdengar samar di telinga.

Sulit untukku membuka mata, hanya terlihat samar bayangan seseorang lewat di depanku. Pandanganku jatuh ke jendela kamar, cahaya senja menyilaukan mata. Hanya bisa mengucek netra.

"Gadis lemah ini kenapa beban hidupnya begitu berat. Sayang, ia tak sekuat itu untuk menghadapi semua masalah ini," imbuhnya sembari duduk di sampingku, lalu membelai rambut.

Begitu mataku terbuka, jelas itu Nazil. Tanpa pikir panjang kuraih pergelangan tangannya.

"Aku dengar, Yang," lirihku yang sudah membuka mata sepenuhnya dan menatapnya tajam.

Ia dengan gelagapan menjawab, "Ah iya ini sudah hampir Magrib, persiapan sholat, yuk," ajaknya.

Lebih dulu kuedarkan pandangan, lalu mencoba duduk.

"Yang lain ke mana?" tanyaku.

"Ada di bawah, udah persiapan mau sholat," jawabnya yang kuangguki.

"Udah selesai masaknya?" tanyaku lagi.

"Udah, sekalian masak untuk semuanya. Seru juga ke pasar dan masak sama Gus Rayhan," balas Nazil sembari tersenyum.

"Kamu mah emang sama siapapun cocok. Bagaimana dengan Bunda?" tanyaku lagi.

"Ehm, udah ya mandi sana yang lain udah nunggu. Nanti juga tahu sendiri, aku tunggu di bawah," pintanya yang membelai rambut lagi.

Pria dengan kemeja merah marun dan celana pantsuit hitam itu kembali turun.

Begitu pula aku bergegas ke kamar mandi. Melakukan ritual mandi dengan cepat, lalu berwudu. Terakhir mengenakan atasan mukena dan bergegas ke bawah. Sampai di ruang sholat aku melihat pemandangan tak biasa.

Nazil mengenakan sarung dan peci warna putih. Bercanda dengan Ustaz Ravi dan Gus Rayhan. Sedangkan Bunda tersenyum menatap mereka. Masih ada rasa sakit, sehingga aku memasang raut wajah dingin dan duduk di samping Bunda.

Tepat di belakang Nazil dan Gus Rayhan. Sedangkan Ustaz Ravi di depan sebagai imam. Saat aku duduk dengan wajah tak senang, tatapan mereka pun tertuju padaku.

"Azan sudah berkumandang, kalian menunggu apa?" tanyaku dengan nada dingin sembari memakai bagian bawah mukena.

Senyum getir terlihat jelas di wajah mereka. Hatiku masih membenci Bunda maupun orang yang akan kupanggil ayah.

Tanpa berbicara Ustaz Ravi pun berdiri untuk mengumandangkan iqomah. Tak lama kami pun selesai melakukan sholat Magrib yang hanya tiga rakaat. Aku langsung melepas bagian bawah mukena. Melipatnya sambil mendengarkan doa yang terlantun dari yang lainnya.

Begitu selesai, aku menatap sekilas Nazil dan Gus Rayhan yang saling bersalaman, kemudian berlanjut mencium tangan Ustaz Ravi.

Namun, aku malah mengabaikannya dan langsung bangkit tanpa kata-kata. Mengabaikan tangan Bunda yang mengharapkan tautan tanganku. Aku acuh membuka pintu dan keluar untuk kembali ke kamar.

"Nak," panggil Bunda yang kuabaikan.

"Biar Nazil yang bicara dengannya." Terdengar suara Nazil.

Aku malah ke kamar melepaskan mukena, menaruhnya sembarang di tempat tidur lalu meraih pashmina. Begitu selesai memakainya, aku turun kembali dan langsung ke dapur membantu Bibi menyiapkan makanan di meja.

"Bibi udah selesai sholat?" tanyaku saat kami menata piring di meja makan.

"Sudah, Non," jawabnya.

"Bibi nanti ikut makan, ya? Sama Pak Tirto juga diajak," pintaku yang membuat Bibi tertawa pelan.

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now