57. Kehamilan dan Penyesalan

11 0 0
                                    

Tiga tahun kemudian ....

"Mengantar Mas Suami check up pertama!" seruku saat berada di dalam mobil bersama Agatha.

Ia tersenyum, lalu menggenggam tanganku. "Jangan nyerah, ya, jadi istri aku?"

Terasa getir kalimat yang terucap dari bibirnya itu, aku mengangguk dan menggenggam tangannya dengan tangan kiri. "Tidak akan!" tegasku.

Mobil pun melaju ke tempat praktek seorang psikiater terkenal. Aku sendiri belum pernah mendengar nama dr. Camelia Malik Annabeth Sp. KJ. Perempuan cantik dengan rambut bergelombang, jas putih, dan riasan tipis warna nude yang membuatnya cantik natural. Begitu kami datang ia menyambut dengan senyuman, tetapi tatapan matanya berubah saat pandangan mengarah pada suamiku.

Senyum di bibirku berubah menjadi getir saat melihat dua orang tersebut saling menatap dengan mata sendu. Aku memandang keduanya secara bergantian, hingga bertanya, "Kalian sudah saling mengenal?"

"Ehem!" Agatha langsung terbatuk dan memandangku.

"Di-dia teman kuliahku, ya, kan, Mel?" tanyanya sembari tersenyum dan mengangkat salah satu alisnya memandang Camelia.

Aku mengerutkan dahi karena merasa ragu, lalu langsung menoleh ke psikiater cantik itu. Perempuan itu tampak ragu sejenak, hingga menampilkan senyum miring dan mengangguk dengan terpaksa.

"Ah, baiklah, silakan duduk," ucapnya dengan ramah dan mempersilahkan kami duduk berdampingan. Ia pun duduk sembari tersenyum dan memegang bolpoin. Perempuan dengan wajah tirus, hidung mancung, dan iris mata abu-abu itu jelas keturunan Eropa. Bukan hal mustahil jika teman Agatha saat kuliah dulu.

Namun, hal yang membuatku merasa janggal adalah Agatha tak lagi menggenggam tanganku saat melihat Camelia tadi. Sekarang pun ia memilih mengelus pahanya sendiri.

"Agatha Prameswari, apa kali ini tentang kepribadian ganda lagi?" tanya Camelia tiba-tiba yang membuatku langsung menatapnya tajam. Ia malah memandang Agatha dengan kedua alis terangkat.

Bukannya menjawab, suamiku malah membeku dan memandangnya dingin.

"Apa hubungan mereka sebenarnya?" tanyaku dalam hati.

"Aku tidak pernah berubah." Jawaban singkat suamiku semakin mengundang banyak tanya.

Terlebih Camelia tersipu mendengar jawaban itu, "Aku juga tidak, akhirnya tujuanku terwujud." Perempuan itu bernapas lega dan menatap lekat suamiku, lalu memutar bolpoin dan mendekatkan kertasnya. "Baiklah, kita mulai!"

Agatha mengangguk.

Aku ingin meraih tangannya, tetapi ia malah memainkan jari sendiri di bawah meja. Percuma aku menemaninya. Selanjutnya pun mereka mengobrol dengan santai dan senyum tak berhenti terlukis di wajah suamiku. Sementara aku tersisih, bahkan tak dianggap. Hanya menyipitkan mata dengan senyum getir memandangi dua sahabat lama itu. Begitu keluar dari aku tersenyum miring dan menatap tajam suamiku.

"Sahabat lama, ya?" tanyaku dan langsung berdiri di hadapannya.

"Ya, tidak lebih," jawabnya santai.

Aku mengangguk, tak ingin bertanya lebih. Takutnya ia berpikir aku tak percaya. Diam menjadi pilihan terbaik, tetapi menyinggung beberapa hal tidak ada salahnya.

"Dia tahu kamu menderita bipolar?" tanyaku sembari menaikkan alis dan melipat tangan di depan dada.

Ia malah tersenyum dan mencubit pipi, "Kamu cemburu, ya?" tanya Agatha.

Dengan malas aku memutar bola mata, "Menurut kamu?"

Agatha meraih tengkuk dan menatapku lekat, "Kalau kamu tidak setuju aku akan berhenti," ucapnya.

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now