Part 19. Gus dari Masa Lalu

12 0 0
                                    

"Ning, sudah, ya? Jangan terlalu dipikirkan, ayo main sama Aletta." Suara Gus Rayhan membuyarkan lamunanku yang berdiri di gerbang pondok pesantren sembari mengawasi para santri berjualan dan menjaga bengkel serta pom bensin.

Seakan tahu jika lamunanku jatuh ke masalah kemarin, Gus Rayhan yang menggendong Aletta mencoba mengalihkan pikiranku. Terlalu terpuruk dengan ingatan yang tak jelas juga tidak baik. Aku mengangguk sembari tersenyum.

"Bisnis anak-anak berjalan dengan baik, ya, Gus?" tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan. Aku tersenyum tanpa memandangnya, tetapi mengikuti langkah kakinya.

"Alhamdulilah, Ning, apalagi jajanan seperti keripik yang bahannya diambil dari kebun Abi dan Abah. Harganya yang murah dan rasanya yang enak banyak peminatnya. Sebagian santri yang bisa komputer saya kirim ke RA Corparate, perusahaan saya untuk belajar di sana."

Mendengar penjelasannya aku menghela napas, "Tidak menyangka, ya, sudah sampai sini. Rasanya saya cuma memberi kata afirmasi, lalu menyusahkan Gus Rayhan karena sakit. Tapi, proker saya tetap berjalan berkat Gus Rayhan," ucapku.

"Tinggal tiga hari lagi, ada beberapa santri yang mendapat beasiswa berkat bimbingan Ning juga, lho. Oh iya, tiga hari lagi acara penghargaan Hafiz dan Hafizah, Ning kasih materi, ya sekalian penutupan program Ning?"

Aku hanya mengangguk, hingga tak terasa kami sudah di depan surau belakang yang tak berubah. Masih teduh, seteduh masa lalu yang ada di dalamnya. Lantas, aku menoleh ke arah Gus Rayhan.

"Kok ke sini, Gus?" tanyaku.

"Saya mau main kejar-kejaran sama Ning lagi," jawab Gus Rayhan sembari tertawa.

"Gus," keluhku.

"Ini lho Aletta mau main, ayo masuk sekalian bicara soal ingatan, Ning," ungkap Gus Rayhan yang mencium pipi Aletta, lalu masuk ke surau. Aku pun mengekor.

Begitu masuk, Aletta diturunkan sedangkan aku langsung ke jendela kaca berbentuk mirip kubah. Menikmati cahaya temaram yang masuk. Hingga Gus Rayhan yang melipat tangan di punggung mendekat.

"Ning, sebenarnya ingatan Ning di toko es krim itu benar adanya," ucapnya memulai percakapan.

Aku menatapnya sekilas, mendapatinya seakan serius untuk bercerita.

"Saat kita berumur tujuh tahun, Ning ingin sekali makan es krim setelah pulang sekolah. Abi sudah menuntun kita menyeberang, tapi beruang warna pink dari tas Ning jatuh di tengah jalan. Padahal yang buat Ning suka tas warna pink itu adalah beruangnya, jadi saya lari buat ngambil balik. Lalu, yang terjadi persis seperti yang ada di ingatan Ning. Abi Ning Nora adalah Ustaz Ravi."

Sontak aku menatapnya tajam karena tak menduga penuturannya itu.

"Sejak awal bertemu saya tidak salah, pertama yang membuat saya yakin dengan Ning adalah Nama. Nama asli Ning itu, Naura Ukhrawi Titian Az-Zahra dan nama Bu Ranum. Hal itu semakin dikuatkan dengan Ning yang sama sekali tidak punya ingatan masa lalu, kemudian kalimat yang Ning sampaikan di awal memberikan materi sama persis seperti yang diajarkan Abi ke kita saat kecil."

Deg!

Segalanya terasa samar, aku ingin mengelak tapi semua ucapannya sungguh benar. Penglihatanku mulai kabur, meski berusaha tenang mendengar kenyataan ini. Rasa sakit di kepala perlahan kembali muncul, hingga perhatianku tertuju kepada Aletta yang berlarian mengitari pilar surau.

Adegan yang familiar, gadis kecil mirip diriku itu sama persis seperti yang ada di ingatan.

"Gus! Wlee! Kejal Nola!" seru gadis kecil dengan gamis dan niqab berwarna merah muda yang membuatnya terlihat menggemaskan.

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now