Part 38. Harapan Baru

6 0 0
                                    

"Ning Nora ...."

Deg!

Panggilan itu seketika membuat jantungku berhenti berdetak. Benarkah itu suaranya?

"Rayhan menelepon, ada yang ingin ia katakan," ucap Abah sembari menyerahkan ponselnya padaku.

Ada gurat kecewa setelah sempat berharap Gus Rayhan ada di sini. Mendengar suaranya saja masih membuatku gemetar, ponsel berpindah ke tangan dan dengan ragu aku menempelkannya di telinga.

"Ning, saya turut berduka cita atas kematian Mas Nazil. Saya tidak bisa ke sana, tetapi ingin menyampaikan sesuatu tentangnya. Mas Nazil pernah bilang ke saya, "Ia perempuan sempurna yang paham agama, cantik, cerdas, dan mandiri ... bahkan bisa segalanya. Sedangkan aku ... aku merasa tidak pantas dicintainya, Gus. Jika nantinya bukan saya yang memilikinya atau ada takdir lain yang akan membuatnya bahagia, saya rela melepasnya. Saya hanya ingin ia bahagia". Sejak itu Mas Nazil sering datang ke pondok tanpa sepengetahuan Ning, ia belajar mengaji dan mulai menghafal surat Ar-rahman. Hingga suatu hari ia bilang ingin belajar agama dan menjadi seorang ayah, tapi hualllahu alam. Maaf, Ning, saya tidak bisa bicara lama karena ada kelas. Tetapi, tidak bisakah Ning mewujudkan keinginannya?" tanya Gus Rayhan di akhir.

Lemas. Bukan karena pertanyaan terakhir atau suara Gus Rayhan yang lama kurindukan. Akan tetapi, kenyataan lain tentang Nazil yang mencintaiku sedalam itu. Tanganku berayun lemah ke samping badan, hingga air mata kembali berjatuhan.

"Nak," panggil Ummi pelan sembari mendekatiku.

"Di mana ia sekarang?" tanyaku dengan nada gemetar.

"Rayhan melanjutkan sekolahnya di Kairo," jawab Ummi.

Tanpa berkata-kata aku menatap Abah, lalu memberikan ponsel itu sambil berkata, "Aku akan pergi sebentar, jangan mengejar. Biarkan aku sendiri kali ini," ucapku dingin. Bergegas keluar sembari menyeka air mata, lalu menyahut sembarang tas dan kunci mobil di nakas kamarku yang tak jauh dari ruang kerja. Kini, mobil ke jalanan kota yang lenggang sampai di bandara terdekat.

Tanpa ada tujuan yang jelas aku memilih ke ruang tunggu di mana banyak orang duduk di sana. Dengan dinding kaca besar di belakang tempat duduk yang menyajikan pemandangan pesawat akan terbang. Tak peduli suasana ramai, aku memilih berdiri di sana sambil memandang keluar dinding. Melihat pesawat lepas landas, lalu berjalan perlahan di koridor mengikuti dinding itu. Sampai sebuah koridor yang sepi, ada seseorang dengan koper di tangan yang melakukan hal yang sama denganku.

Aku mengamatinya begitu lama karena merasa kenal dengan sosok itu. Benar, ia pun mendekat karena mengenaliku.

"Kau juga tahu jika ini tempat favoritnya?" Suara Kak Rangga terdengar, memang tidak salah lagi aku mengangguk.

Helaan napas terdengar darinya, "Ya, ia menyukainya karena di sini ia bisa melihat perpisahan yang sebenarnya. Seperti orang bilang, bukan di saat kelulusan, tapi kita bisa melihat perpisahan di bandara--"

Aku menyelanya dengan tawa, "Kak, bukan di kelulusan, tapi kita mendapat ucapan perpisahan paling indah di bandara. Bukan di pemakaman, tapi kita akan mendengar doa paling tulus di rumah sakit," ucapku memperbaikinya.

Hal itu membuatnya menggaruk tengkuk, "Ya, aku tidak pandai menyusun kata-kata. Intinya di bandara orang pulang dan pergi tanpa tahu pasti kapan bertemu dengan keluarganya. Kita hanya mengantarnya pergi dengan harapan ia akan kembali, tapi kita tidak tahu takdir langit akan mengembalikannya atau tidak. Sebenarnya, alasan ia menyukainya karena di sini tempat terakhir kami mendapat pelukan dan melihat senyuman ibu," ungkap Kak Rangga disusul tawa, tapi ada yang ia seka di pelupuk matanya.

"Kak?" panggilku sembari memiringkan kepala.

Ia menoleh ke arahku dengan tangis yang tak bisa dibendung dan nada bergetar, "Sekarang aku harus bagaimana? Mereka pergi, kedua orang yang sangat ingin aku sayangi dan lindungi pergi. Sekarang pun aku bingung harus ke mana untuk kembali," ungkapnya

Cinta Dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang