46. Lembaran Baru

8 0 0
                                    

Ankahtuka wa zawwajtuka makhtubataka binti Nora Vivian Az-Zahra alal mahri milyari naqdan wamajmu'atan min 'adawat alsalaa hallan.”

Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur hallan.”

"Para saksi sah?"

"Sah!"

Akhirnya ijab kabul terucap, aku yang mendengarnya dari kamar pengantin tersenyum. Ijab kabul yang dilakukan di ruang tamu itu hanya dihadiri keluarga. Mulai dari kakek, nenek, dan ayah, ibu Arga. Tak lupa penghulu yang berada di luar sana. Sementara aku menunggu Agatha menjemput. Berada di kamar pengantin yang merupakan ruang tamu di rumah megah keluarga Dehooven.

Jantungku berdebar kencang saat terdengar suara pintu dibuka. Bunda yang ada di sampingku mundur, ia memang datang secara mendadak saat Agatha datang untuk mengkhitbah dan baru sampai satu hari setelahnya, yaitu tepat pada hari pernikahan kami sekarang.

Laki-laki dengan jas putih itu mendekat, "Kamu siap?" tanyanya.

Aku meliriknya dari kaca di hadapan, lalu mengangguk dan tersenyum. Setelah itu, bangkit dan berbalik ke arahnya.

Kupu-kupu seakan berterbangan di perut dan mengacaukan seisinya saat tangan Agatha terulur ke arahku. Dengan menunduk karena tersipu malu, aku menerima uluran tangannya.

Ia menggenggam tangan dan membawaku keluar untuk lanjut ke tahap bertukar cincin. Akan tetapi, baru sampai di depan pintu kamar aku menarik lengannya dan berbisik.

"Butterfly in my stomach, jujur aku gugup," ungkapku yang membuatnya tersenyum dan menatapku.

"Kita sudah halal, izinkan saya menggendong Anda, Nona," godanya yang langsung membopongku ala brydal style.

"Astaga!" Aku terkejut saat tubuhku terangkat dan ia sedikit kesulitan membopongku karena gaun itu.

"Saya sudah menyiapkan stamina penuh untuk hari ini, Anda tidak perlu khawatir," ungkapnya sembari tersenyum miring.

Aku hanya memukul lengannya dan menyembunyikan wajah karena semua anggota keluarga pasti melihatnya mengingat kamar berada tidak jauh dari tempat prosesi. Bahkan sorakan mereka terdengar saat mengetahui Agatha membopongku. Begitu sampai di dekor pelaminan di ruangan megah itu, Agatha menurunkanku.

Aku menunduk malu-malu dalam balutan cadar. Sekilas mataku mengerjap ke seluruh ruangan, beberapa tamu merupakan orang asli Amsterdam yang mengenakan pakaian formal seperti dress, gaun, dan jas. Sampai tiba-tiba sebuah tangan meraih tanganku. Ternyata MC telah meminta mempelai laki-laki memasang cincin.

Laki-laki di hadapanku itu tersenyum sembari memandangiku, tetapi tangannya memasang cincin di jemariku. Tepat di jari manis tangan kanan yang katanya terhubung langsung ke jantung, sehingga saat ada yang memasangkan cincin di sana orang itu akan dekat dengan hati.

"Sekarang Nona Dehoveen yang memakaikan cincin di tanganku," godanya sembari mengatungkan tangan kanannya. Disusul suara MC dengan bahasa Inggris yang meminta mempelai perempuan memasangkan cincin di jari mempelai laki-laki.

Aku pun menyelesaikan tahap akhir itu, tetapi adegan selanjutnya membuatku terkejut. MC menginstruksi pada mempelai laki-laki untuk mencium mempelai perempuan. Ini menjadi kebiasaan orang-orang di sini yang masih membuatku terkejut.

"Adegan selanjutnya memang ciuman, tapi ada tahap melepas cadar dalam tradisi Melayu ... setahuku," ucapnya dengan tatapan puas, lalu menarik pinggangku untuk mendekat.

Cinta Dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang