Part 16. Ciuman Manis

16 1 0
                                    

"Asalamualaikum, semua santriku. Kira-kira ada apa ini saya mengumpulkan kalian di lapangan ini?" tanya Gus Rayhan memulai perbincangannya. Sedangkan aku memangku Aletta di kursi roda. Duduk di sampinya seperti yang diminta. Saat para santri mulai kebingungan, Gus Rayhan kembali angkat bicara.

"Seperti biasanya kalau sudah berkumpul di lapangan pasti ada wejangan. Kali ini temanya 'Menilai Orang Dari Penampilan dan Membully'." Sontak aku menatap sendu Gus Rayhan, lalu kembali bercanda dengan Aletta, pura-pura tak tahu apa pun. Ya, gadis kecil itu tengah berada di pangkuanku.

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah tidak melihat bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah melihat pada hati dan amalan kalian. Hadis riwayat muslim.” Sejalan dengan hadis tersebut, kemarin telah terjadi pembullyan yang dilakukan oleh salah satu santri di sini," ungkap Gus Rayhan yang memasang wajah datar. Aku menarik lengan gamisnya.

"Gus bicara apa sih?" protesku sedangkan para santri riuh berbisik, sedangkan Gus Rayhan sama sekali tak mengindahkan.

"Barang siapa menghina dan menjelekkan orang lain sesungguhnya orang itu menodai bajunya sendiri, membuka kebusukannya sendiri. Oy para santri!" seru Gus Rayhan.

"Iya, Gus Rayhan kami di sini!" jawab para santri serempak seakan itu yel-yel mereka.

"Berikan penilaian kalian terhadap cara berpakaian Ning Nora!" titah Gus Rayhan.

"Sopan."

"Berwibawa."

"Elegan."

"Terlihat mandiri."

"Terkesan cerdas, Gus."

Begitulah jawaban para santri, tidak ada penilaian buruk sama sekali di benak mereka.

"Subhanallah, penilaian kalian dan cara pandang kalian sangat bagus. Selanjutnya, saya minta dua santri ... ehm Mira dan Yuni, maju!" Gus Rayhan menunjuk ke dua santri perempuan yang malam itu membullyku.

"Gus Rayhan tahu?" Seketika aku memandangnya sembari menaikkan alis, tapi ia sama sekali tidak menghiraukan. Dua santriwati itu maju dan berdiru di hadapan Gus Rayhan dengan menunduk.

"Menurut kalian berdua gaya berpakaian Ning Nora ini bagaimana hemm? Jawab atuh," ucap Gus Rayhan sembari bersedekap. Sedangkan dua santriwati itu melirikku ragu-ragu.

"Cantik, Gus."

"I-iya style kantoran dan islami, elegan, Gus." Aku memicingkan mata mendengarkan jawaban itu.

"Sepertinya tidak begitu yang kalian katakan kemarin malam? Ehm, ada yang bilang kalau pakaian Ning Nora itu terbuka, menampilkan lekuk tubuhnya," ungkap Gus Rayhan yang memancing mereka. Sedangkan santri lainnya kebingungan dengan apa yang terjadi.

"Eng-enggak, Gus, kemarin malam saya tidak bilang seperti itu--"

"Bohong! Pak Broto lihat kalian bully Ning Nora, bahkan mendorongnya di kebun!" bentak Gus Rayhan yang matanya menajam, amarahnya langsung meluap begitu saja.

"Ok, kalian mempertanyakan kenapa saya memanggil perempuan kantoran yang baru datang ke pesantren dengan embel-embel Ning?" tanya Gus Rayhan yang mundur.

"Gus," gumamku.

"Karena dia perempuan berhati mulia yang ingin saya jadikan Ning. Kenapa saya juga menjadikan dia contoh untuk semua santri? Karena saya percaya dia bisa membimbing kalian dengan baik. Ning Nora mungkin tidak senang saya perlakukan seperti ini, bahkan sedari awal dia menjaga jarak dengan saya karena bukan mahram." Aku langsung menahan tangan Gus Rayhan, mengambil alih mic dari tangannya.

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now