Part 36. Accident H-1

9 1 0
                                    

"Bangun, Istriku." Suara lembut itu mengalun di telinga dengan Nazil, membuatku tersenyum. Sampai sebuah suara mengacaukannya.

"Kebakaran! Kebakaran!" Teriakan terdengar lantang di telinga, tapi tak ada suara heboh orang berlarian. Aku hanya berdecak, lalu menarik selimut dan melenguh.

"Eunght!" Aku yang tadinya telentang kini miring ke kanan.

Byurrrr!

"Bundaaaaaa!" Teriakku saat air mengguyur seluruh wajah dan membuatku langsung bangun. Dalam posisi duduk kuusap wajah yang penuh air dengan mata terpejam. Begitu mataku tak pedih lagi, aku menatap tajam seseorang di hadapan. Bukan Bunda. Seorang laki-laki dengan jas rapi yang berkacak pinggang dan membawa gayung di tangan, ia menatapku tajam.

"Ak-aku ... Nazil ...." Sulit untukku berkata-kata melihatnya dalam keadaan marah hingga aku memilih untuk menunduk dan menggembungkan pipi. Selelap itu aku tidur kemarin usai membaca buku diary-nya.

Hingga perlahan ia duduk di tepi tempat tidurku, membelai pipi. "Kenapa? Kamu lelah?" tanyanya lembut.

Aneh. Rasanya aku ingin mengomel karena ia telah menyiramku, tetapi sekarang berperilaku lembut.

"Jahat!" seruku sembari memainkan kuku dan masih menunduk.

"Dibangunin secara lembut tidak bisa, dipanggil istri tetap tidak bangun. Sampai teriak pun tidak digubris, kita terlambat setengah jam, lho. Kamu kecapekan?" tanyanya sembari menarik daguku agar mendongak menatapnya.

Hanya kumainkan kuku dan berpaling, "Aku tidak bisa tidur karena ...." Perlahan aku menatapnya, tetapi gugup menyerang kembali dan membuatku menunduk lagi.

"Karena?" tanyanya penasaran.

"Aku harus bersiap-siap sekarang karena kita tidak boleh terlambat lagi, kan?" Aku langsung menyingkap selimut dan bangkit dari tempat tidur, berlari ke kamar mandi.

Tak berselang lama, setelah memakai gamis blus putih dengan pants warna coklat kapucino dibalut outer panjang hampir menyentuh tanah berwarna senada dengan celana, tak lupa hijab warna hitam kukenakan dengan gaya cekbel, kami pun langsung tancap gas ke tujuan.

Pantai Teluk Asmara dengan sebuah gedung warna putih yang indah dan megah di tepian pantainya. Tak lupa altar mirip kubah putih yang berada lebih dekat dengan pantai, sayangnya perlu melewati jalan panjang bagi aku dan Om yang menjadi waliku untuk ke sana. Berjalan beriringan dengan tanganku yang digandengnya. Ada rasa sesal di hati, harusnya Abi yang mengantar sang putri ke pelaminan usai mengucap ijab kabul untuk berlanjut tukar cincin. Mengingatnya membuatku meneteskan air mata, tetapi kemudian aku menoleh ke paman yang tersenyum.

Pria yang masih gagah dengan setelah outfit kantor berwarna abu-abu, tak lupa kacamata itu tersenyum cerah dan matanya berbinar. Seakan mewakili perasaan Abi saat menyerahkanku pada orang yang tepat. Aku pun tersenyum dan menyeka air mata saat sampai di hadapan Nazil.Kini, giliran laki-laki yang kucintai itu yang menjemput tanganku untuk dipasangi cincin.

 Begitulah kebahagiaan terpancar dari kami semua saat Tante dan Bunda datang bertepuk tangan. Setelah tiga kali praktek dengan arahan WO, akhirnya kami berhasil dengan sempurna. Kuakui yang paling sulit adalah fase berjalan ke altar yang harus perlahan dan anggun, apalagi jalannya panjang membutuhkan banyak kesabaran.

Akhirnya aku bisa bernapas lega, tetapi tidak sampai lama aku menyadari ketidakhadiran seseorang. Lalu, menoleh ke Nazil yang sama membulatkan netranya.

"Aletta?!" pekik kami berdua yang membuat Tante, Om, dan Bunda langsung berubah raut wajahnya. Mereka pun langsung memutar badan dan mengedarkan pandangan.

"Di mana Aletta, Tan?!" tanyaku sedikit menuntut.

"Tadi sama kamu kan Fatma?" tanya Om.

"Iya, tadi Aletta masih sama kami ...." Bunda berucap dengan nada gelisah karena tak menemukan Aletta.

Cinta Dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang