Part 20. Godaan Calon Imam

9 0 0
                                    

Wait, a minute ...

Terpantau banyak siders di sini!

🙄😬

Budayakan like sebelum membaca!

😍

Silakan membaca 🤗

"Rayhan, kita bawa saja ke rumah sakit!" Suara Ummi terdengar dari jauh.

"Ummi, Rayhan tidak berani membawa ke rumah sakit tanpa persetujuan Ning sendiri." Perdebatan itu semakin terdengar jelas saat kesadaranku hampir penuh. Aku membuka mata, masih samar pemandangan sekitar, tapi aku yakin ini di kamar.

"Gus, haus," lirihku sembari mencoba meraih Gus Rayhan yang terlihat samar. Ingin bangkit, tetapi terasa berat. Hanya bisa memegangi kepala yang semakin terasa sakit.

"Gus," panggilku lagi, membuat sang empu menoleh.

"Ning, Ning sudah sadar?" tanyanya.

"Haus," ungkapku tanpa menjawab pertanyaannya.

"Ini air jahe hangat, Nak," ucap Ummi yang langsung mendekat dan membantuku meminumnya dengan memegangi gelas.

"Gus," panggilku setelah selesai minum.

"Iya, Ning, ke dokter, ya? Ning sampai mimisan dan pucat begini," ungkapnya. Aku menggeleng pelan sembari memegangi kepala yang masih sakit.

"Sakit saya tidak akan sembuh dengan ke dokter, karena ini masalah psikologis. Tolong ambilkan laptop dan kacamata saya, Gus," pintaku.

Ia pun meraih laptop dan kacamata di meja. Aku langsung menerima dan memakai kacamata. Membuka laptop mencari nomor Doktor Johnson di whatsapp web yang tersambung dengan whatsappku.

Saat menemukannya, aku pun langsung menyalakan video call. Tak lama, Doktor Johnson mengangkat. Meski sibuk, ia selalu mengutamakan aku sebagai keponakannya. Benar, ialah pamanku, anak tertua dari almarhumah kakek.

"Hallo Nora, how are you?" tanyanya.

"I-I am scared, Uncle, the bad thing happened again," ungkapku, tetapi paman malah menampilkan senyum ramahnya.

"Looks like you haven't eaten yet, your face is pale," tegur paman.

"No! I see Mom, Abi, Gus, and little girl called Nora. When I am remembered they ... my head it's hurts, I'm afraid, sad, and angry. I can't control ... why my parents are determined. Screams, slaps, shards, cries ... so argh!" racauku yang menangis histeris mengingat semua itu.

Aku meremas hijab dengan erat dan meluapkan semua emosi.

"Pergi! Semuanya pergi! Aku tidak ingin mendengar dan melihat kalian lagi! Pergi! Tinggalkan aku sendiri," isakku sembari menundukkan kepala dan menangis sejadi-jadinya.

"Nora! You can hear me? See me, I am in here. I am your uncle, you should see my eyes, okay. Don't think about them, see me and other in around you. They in your mind is nothing, just your bad things. And it's not happen, never!" tegas Paman Johnson dari seberang sana.

Aku mulai melirik laptop kembali.

"All the things never happen?" tanyaku meyakinkan diri sambil menatap paman, mencari kesungguhan di matanya.

"Happened or not, know you should see all people are around you. Follow me, inhaler ... exhaler. Calm down."

Seperti yang diinstruksikan, aku menarik napas dan mengembuskan napas.

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now