Part 30. Kehilangan

9 0 0
                                    

Tanpa memedulikan siapa pun aku meringkuk diri di depan rumah sakit sembari menangis dalam diam. Sedangkan yang lain masih di dalam karena Bunda tiba-tiba pingsan dan Gus Rayhan mengurus kepulangan ayah. Bunda pasti syok dengan masalah yang menimpanya.

Sementara aku sendirian memutar kembali semua kejadian sebelumnya bersama ayah. Setiap kenangannya terlihat jelas, bahkan raut wajahnya sejak awal kami bertemu. Perbincangan di taman pun terputar kembali, di mana ia bahagia kupanggil Abi.

Aku semakin tergugu terlebih kejadian di tangga masih tereka jelas.

"Ayah!"

"Maafkan ayah."

Rintihannya terngiang di telinga. Semakin memperdalam penyesalanku. Hingga Nazil keluar dan duduk di sampingku.

"Sudah, ya? Kita urus pemakaman ayahmu, Gus Rayhan sudah menghubungi Mas Zaqi. Bunda juga sudah sadar, ayo siapkan dirimu ke sana," ajak Nazil dengan lembut.

Aku mengangguk sembari menyeka air mata. Tak lama kemudian, Bunda dan yang lainnya keluar. Berbeda dengan tadi, kini aku satu mobil dengan Nazil dan Gus Rayhan sebagai sopir. Sedangkan Paman, Bunda, dan Bibi mengikuti di belakang. Tak lupa ambulance di garda paling depan.

Begitu sampai di pondok milik Ustaz Ravi, para santri sudah menyambut. Di paling depan sudah ada Gus Zaqi dengan pakaian hitam dan kacamata hitamnya. Sekilas gaya nyentriknya terlihat angkuh, tetapi tangannya terkepal seakan menahan sesuatu.

Bisa kulihat dengan jelas sosoknya yang mencoba tegar saat jenazah Ustaz Ravi diturunkan. Di tengah santri yang langsung mengarahkan jenazah ayah ke pemandian yang telah disiapkan. Terlihat Gus Zaqi menunduk, lalu menyeka sesuatu di sudut matanya.

Aku yang sudah turun dan berdiri di samping Nazil langsung mengikuti Gus Zaqi untuk memandikan. Laki-laki itu tak mengatakan apapun atau melihat ke sekeliling. Hanya menunduk fokus memandikan ayah. Begitu pula aku yang mengikuti instruksi para tetua di sana.

"Ini putri Ustaz Ravi, kan, ya? Geulis pisan sudah gede," ucap seseorang yang mengalihkan fokusku. Wanita paruh baya itu berhasil membuat Bunda yang berada di sampingku menutupi wajah.

"Ini bener istrinya Ustaz Ravi, kan? Meni geulis pisan, makin muda Bu Ranum," imbuhnya.

"Bukankah Ummi yang lebih berhak memandikan Abi?" tanya Gus Zaqi yang menyodorkan gayungnya ke Bunda.

Bunda membuang muka dan terus menyembunyikan wajah.

"Bunda tidak enak badan, tapi tetap harus memandikan ayah. Nora bantu, tiga siraman saja, Bun," pintaku yang menarik tangan Bunda. Menggiringnya menyiram air kembang tujuh rupa ke tubuh ayah.

Setelah tiga kali Bunda memilih enyah, aku tahu benar hatinya lemah di hadapan laki-laki yang dicintainya. Tidak mungkin cintanya hilang begitu saja pada laki-laki yang masih ada di hati dan membuatnya meninggalkan keluarga demi cinta. Pasti cintanya sangat kuat dan tulus, tapi karena ego ia memilih melepaskan.

"Mas Zaqi," panggilku saat kami hampir selesai memandikan ayah.

"Ning istirahat di dalem saja, biar saya dan santri lain yang mengafaninya," ucapnya.

Aku mengangguk karena memang tak kuat lagi melihat ayah terbujur kaku. Begitu ingin pergi, sekilas melihat wajah ayah pertahanan ini lemah.

"Mbak!" teriak para santri saat aku tiba-tiba limbung.

"Ris, bawa Ning ke kamar tamu," pinta Gus Zaqi. Santri putri itu langsung membopongku ke dalam.

Begitu sampai di kamar tamu, aku berbaring. Merasa lemah dan demam secara tiba-tiba bukan hal yang aneh saat ada keluarga yang meninggal. Hingga tak terasa aku tertidur di sana.

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now